Prospek Bisnis Film 2019: Saluran Distribusi Digital Kian Mewabah

Image title
2 Januari 2019, 22:00
Poster Film Aquaman
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Beberapa pengunjung Cinema XXI Jatinegara melintas di depan poster film Aqua Man, Matraman, Jakarta Timur (26/12).

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) memproyeksikan perfilman menjadi salah satu subsektor yang tumbuh pesat pada 2019. Inovasi teknologi digital, seperti over the top (OTT), bakal mengakselerasi perkembangan bisnis di bidang ini.

Sutradara Kimo Stamboel menyatakan, kehadiran OTT dapat membantu mengelola risiko bisnis perfilman. Teknologi digital ini menjadi alternatif saluran penayangan selain bioskop. Menurutnya, rumah produksi di dalam negeri sekarang belum banyak merambah OTT.

"Risiko bisnis pasti ada tetapi sebagai produser bagaimana risiko itu diperkecil. Saluran distribusi film ke digital bisa memperkecil risiko itu. OTT bisa menjadi andalan baik sebelum film tayang (di bioskop) maupun sebelum," katanya menjawab Katadata.co.id, di Jakarta, Rabu (2/1).

(Simak wawancara khusus: Film Indonesia Terus Tumbuh, Tak Ada Disrupsi untuk Bioskop)

Bioskop tetap penghasil cuan terbesar tetapi OTT, semisal layanan video on demand (VoD), membuat insan film tidak sepenuhnya bergantung kepada hasil penjualan tiket. Bentuk penayangan melalui saluran digital bervariasi, salah satunya serial.

Saat ini, filmmaker bertumpu kepada layar lebar sebagai sumber pendapatan. Apabila ketergantungan terhadap bioskop berkurang setidaknya 30% dengan menyalurkan ke OTT dapat membantu pengelolaan risiko bisnis film.

Berdasarkan pengalaman menggarap Headshot, Kimo menjelaskan bahwa film biasanya ditawarkan lebih dulu kepada OTT hingga mencapai kesepakatan bisnis. Tapi, jadwal tayang melalui saluran digital dilakukan setelah tampil di layar sinema.

"Ada OTT yang cakupannya hanya nasional, ada yang regional, ada yang global. Menurut saya, secara distribusi terbaik jual langsung ke OTT yang worldwide sehingga kita (filmmaker) enggak perlu memikirkan distribusi ke saluran lain lagi," ujar dia.

Kimo memastikan film barunya, Dreadout, bakal masuk saluran OTT maksimal tiga bulan setelah tayang di bioskop. Tayangan horor adaptasi gim digital dengan judul sama ini rilis pada 3 Januari 2019. (Baca juga: Istimewanya Dreadout, Film Gim Horor Lokal Membidik 1,5 Juta Penonton

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Fauzan Zidni berpendapat bahwa perkembangan OTT pada tahun ini belum mampu menggeser peran bioskop. "OTT ini tambahan saja. Bioskop tetap sumber pendapatan utama, dan sponsor juga," tuturnya kepada Katadata.co.id.

Pemerintah memperkirakan film kembali menjadi bidang usaha kreatif dengan pertumbuhan tertinggi pada 2019, selain subsektor musik serta aplikasi dan permainan. "Walau film keekonomiannya belum besar tapi pertumbuhannya luar biasa," ujar Kepala Bekraf Triawan Munaf secara terpisah.

Pada 2015, pertumbuhan subsektor film, animasi, dan video tercatat 6,67%. Setahun kemudian persentasenya naik menjadi 10,09%. Film keluar dari Daftar Negatif Investasi (DNI) melalui Peraturan Presiden No. 44/2016. Keputusan ini menjadi angin segar bagi pegiat industri perfilman setelah nyaris 30 tahun menutup diri.

(Baca juga: Tumbuh 20%, Penonton Bioskop Diproyeksi Capai 60 Juta pada 2019)

Inovasi medium tayang film datang dari perusahaan digital dan e-commerce dengan menghadirkan film video on demand. Layanan VoD adalah sistem televisi interaktif yang memfasilitasi khalayak memilih sendiri program video dan klip yang ingin ditonton.

Gojek Indonesia memastikan bakal rilis produk VoD pada Januari 2019. Layanan film Goplay bakal bersaing dengan penyedia VoD dari Singapura, HOOQ, dan asal Malaysia yang lebih dulu masuk ke Tanah Air.

Goplay diklaim mampu menguasai pasar domestik karena market Gojek sudah besar. “Basis user (pengguna) Gojek sudah besar, 20 juta,” kata Managing Partner Ideosource Andi Soerja Boediman. 

Menurut dia, VoD potensial mengingat rerata pertumbuhan jumlah penontonnya melebihi bioskop. Apabila kenaikan penonton bioskop 17% per tahun maka bisnis over the top seperti VoD diperkirakan bisa mencapai 19% dalam lima tahun ke depan.

(Baca juga: Tayang Januari 2019, Ini Tiga Film Hasil Monetisasi Karya Intelektual)

Pada sisi lain, industri perfilman tetap menghadapi tantangan dari segi biaya. Soal pendanaan diyakini bisa diatasi lebih baik seiring kehadiran lembaga keuangan yang fokus di bidang ini. Perusahaan modal ventura Ideosource Venture Capital salah satu contohnya.

Pada 2011, Andi mendirikan Ideosource dengan dana kelolaan US$ 15 juta. Perusahaan ini awalnya menginvestasikan uang kepada startup teknologi. Keputusan merambah bisnis film dilakukan sejak 2017 dengan menyalurkan pendanaan melalui Ideosource Film Fund (IFF).

Perhitungan Ideosource pada tahun lalu, yakni dari 120 film Indonesia yang beredar tercatat sebelas di antaranya menyedot penonton lebih dari 1 juta orang. Keputusan untuk berinvestasi mempertimbangkan sejumlah hal khususnya rekam jejak produser dan sutradara serta perhitungan proyek film bersangkutan.

(Baca juga: Ideosource Turut Danai Produksi Film Keluarga Cemara)

Pelaku usaha memperkirakan penonton film di bioskop tembus 60 juta sampai pengujung tahun. Angka ini menunjukkan kenaikan sekitar 20% dibandingkan dengan asumsi realisasi tahun lalu sejumlah 50 juta.

Situs www.filmindonesia.or.id menyebutkan, secara berturut-turut jumlah penonton berkembang pada 2010 - 2015, yakni sebanyak 16 juta, 15 juta, 18,9 juta, 12 juta, 16 juta, dan 16 juta. Pada 2016, mencapai 37,2 juta lantas setahun kemudian menjadi 42,7 juta. Selama Januari - Agustus 2018 terealisasi sebanyak 36,3 juta penonton.

Jumlah bioskop juga meningkat dari 1.100 layar pada 2017 menjadi 1.681 layar per Agustus tahun lalu. Artinya, terjadi pembukaan lebih dari 500 layar bioskop dalam dua tahun.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...