Divestasi Saham Freeport Indonesia Masih Tarik Ulur
Pembagian saham 10% PT Freeport Indonesia senilai Rp 6 triliun melalui PT Inalum masih menjadi tarik ulur antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika.
Mengutip Antara, Staf Khusus Inalum Marinus Yaung mengungkapkan, sejak kesepakatan perjanjian pengalihan saham dari Freeport MacMoran kepada Freeport Indonesia melalui Inalum pada 21 Desember 2018, proses penyelesaian kepemilikan saham 10% Pemprov Papua dan Pemkab Mimika belum selesai.
Untuk itu, menurutnya perlu dijelaskan tentang perkembangan proses divestasi 10% saham Freeport Indonesia kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, agar rakyat Papua dan juga 7 suku pemilik hak ulayat yang ada di Timika, Kabupaten Mimika, bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan proses divestasi ini dengan baik.
Menurutnya, persoalan yang mengemuka terkait divestasi saham Freeport Indonesia adalah belum adanya kata sepakat antara Pemprov Papua dan Pemkab Mimika soal komposisi pembagian saham 10% tersebut.
Dari saham sebesar 10%, Pemprov Papua mengacu pada Perda nomor 7 tahun 2018 tentang pembentukan PT Papua Divestasi Mandiri dengan pembagian saham masing-masing sebesar 51% untuk Pemprov Papua, 29% Pemkab Mimika dan 20% untuk kabupaten disekitar area pertambangan.
Sementara, Pemkab Mimika masih mengacu dengan perjanjian induk yang dilakukan dan ditandatangani oleh Pemerintah Pusat, Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, Kementerian Keuangan dan SDM serta PT Inalum pada 12 Januari 2018 di Kantor Kementerian Keuangan di Jakarta.
Dalam isi perjanjian induk yang mengatur komposisi kepemilikan saham 10% Freeport Indonesia lewat Inalum, Pemprov Papua mendapat 3% dan Pemkab Mimika mendapat 7%.
"Inilah yang masih menjadi tarik ulur oleh kedua pihak. Pemprov Papua mau seusai Perda nomor 7 tahun 2018, sementara Pemkab Mimika masih berpegang pada perjanjian induk," ujar Marinus.
(Baca: Gubernur Papua Jadwalkan Bertemu Freeport untuk Bahas Pembagian Saham)
Terkait persoalan divestasi saham Freeport Indonesia, Marinus menyebutkan bahwa pemerintah pusat lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah dua kali memfasilitasi mediasi untuk kedua pemerintah daerah tersebut, tetapi hal ini menemui jalan buntu.
Bahkan, upaya untuk mempertemukan Gubernur Papua Lukas Enembe dengan Direktur Utama Inalum Budi Gunawan telah dua kali dilakukan, baik dengan upaya pribadi dan meminta bantuan Kapolda Papua. Namun, pertemuan tersebut tetap tidak terjadi.
Marinus mengingatkan, bahwa jika hingga pada 21 Mei 2019 tidak ada titik temu di antara kedua pimpinan daerah itu, maka bukan tidak mungkin saham 10% tersebut akan diberikan kepada perusahaan konsorsium dalam hal ini kepada Inalum, sebagaimana perjanjian induk yang telah ditandatangani bersama.
"Ini patut disayangkan karena nantinya kita tidak akan mendapat apa-apa jika dikembalikan ke Inalum karena kedua pimpinan masih bersikukuh pada pendirian masing-masing. Padahal, upaya pemerintah waktu membeli 51% saham Freeport Indonesia sangat sulit dan rumit," ujarnya.
Marinus pun meminta kepada masyarakat Papua, baik yang ada di dalam negeri dan luar negeri, agar memahami hal ini dengan tidak mempolitisir masalah divestasi saham Freeport Indonesia. Karena persoalan yang ada sekarang ini bukan di pemerintah pusat tetapi di Papua dan Mimika.
(Baca: Pangkal Masalah Perebutan Saham Freeport oleh Pemkab dan Pemprov Papua)
Sementara itu, Corporate Secretary Inalum Rendy Witoelar menyatakan Marinus Yaung bukan merupakan staff khusus ataupun karyawan PT Inalum (Persero). "Pernyataan Marinus juga bukan merupakan sikap dan pendapat PT Inalum," kata Rendy dalam surat tertulis kepada Katadata, Senin (29/4).
*) Revisi: Artikel ini mengalami penambahan informasi pada Senin (29/4) yang dimuat pada alinea terakhir.