Macet dan Banjir, Alasan Jokowi Akan Pindahkan Ibu Kota dari Jakarta
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan wacana pemindahan ibu kota negara dalam rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta. Rapat dihadiri menteri kabinet, aparat pertahanan keamanan, serta pimpinan daerah.
Jokowi mengungkapkan alasan pemindahan Jakarta karena macet dan rawan banjir. "Kalau kita lihat, banjir besar setiap musim hujan sangat ekstrim, menjadi ancaman di Jakarta," katanya saat pembukaan Ratas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4).
Jokowi menjelaskan banjir menjadi isu lama yang menjadi permasalahan di Jakarta. Di sisi lain, saat musim kemarau pun cadangan air bersih di ibukota hanya mencapai 20% dari kebutuhan masyarakat karena pencemaran terjadi secara umum di sungai-sungai utama di Jakarta.
(Baca: Korban Banjir Jakarta, Sebanyak 2.942 Warga Harus Mengungsi)
Jokowi menambahkan kemacetan kronis juga menjadi titik kendala utama di Jakarta. Apalagi, jumlah penduduk semakin membludak di Pulau Jawa yang mencapai 57% dari total penduduk. Sedangkan populasi di Sumatera hanya sebesar 21%, Kalimantan 6%, Sulawesi 7%, dan Papua-Maluku cuma 3%.
Wacana pemindahan ibukota mengemuka sejak masa Presiden Sukarno. Sehingga Jokowi menilai pembahasan pemindahan ibukota harus melalui pemikiran jangka panjang.
Sehingga, keputusan dan solusi harus melalui proses pertimbangan yang matang. "Kami harap gagasan pemindahan ibukota jadi sebuah cara untuk mengaktifkan pengelolaan negara," ujarnya.
(Baca: Jokowi Minta Tak Ada Ego Sektoral Untuk Atasi Kemacetan Jabodetabek)
Menurut Jokowi, Jakarta saat ini memikul beban sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik sekaligus pusat bisnis dan perdagangan. Padahal beberapa negara sudah mengantisipasi perkembangan negara di masa yang akan datang dengan pemindahan pusat pemerintahan seperti Washington DC, Amerika Serikat; Canberra, Australia; Putrajaya, Malaysia; Sejong, Korea; serta Mesir.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menambahkan masalah banjir di Jakarta terjadi karena penurunan tanah di pantai utara dan kenaikan permukaan air laut. Air tanah turun rata-rata-rata 7,5 sentimeter dan telah turun sampai 60 sentimeter dalam medio 1989 sampai 2007.
Bambang mengungkapkan, permukaan tanah akan terus turun hingga 120 sentimeter. Padahal air laut naik sekitar 6 sentimeter karena perubahan iklim.
"Sebesar 50% wilayah Jakarta adalah kategori rawan bajir dan tingkat aman banjir hanya di bawah 10 tahun, idealnya satu kota besar keamanan banjirnya minimum 50 tahun," katanya.
Selain itu, Bambang mengatakan kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 56 triliun setiap tahun. Lebih jauh, dia memproyeksikan nilai yang hilang karena kepadatan macet kendaraan bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun. Belum lagi, kualitas air yang tercemar bisa menyebabkan buruknya sanitasi.
Bambang menjelaskan, ibukota yang baru juga harus merepresentasikan identitas bangsa. Apalagi, Jakarta adalah Batavia sebagai pusat perdagangan hasil pembangunan Belanda. "Kajian ibukota baru harus menjadi modern dan kelas internasional, simpelnya adalah smart, green, and beautiful city," ujarnya lagi.
(Baca: Rencana Pemindahan Ibu Kota Diputuskan Setelah Pilpres 2019)