Kritik Beruntun Fadli Zon Atas Rencana Pemindahan Ibu Kota
Di antara hiruk-pikuk kabar yang berhamburan beberapa hari ini, rencana pemindahan ibu kota masih menjadi sorotan banyak pihak. Fadli Zon termasuk barisan yang kerap mengkritik rencana kerja Presiden Joko Widodo di periode keduanya ini.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu mengatakan hak partisipasi publik tak boleh dirampas oleh hasrat pribadi Jokowi -demikian Presiden kerap disapa- terkait wacana pemindahan Ibu Kota Negara. “Jangan sampai keinginan Presiden Jokowi adalah keinginannya sendiri, bukan keinginan rakyat,” kata Fadli di kompleks DPR, Senayan, Selasa (3/9).
Menurut dia, seluruh rakyat terkena dampak pemindahan ibu kota. Oleh karena itu, pemindahannya pun harus memperlihatkan peta jalan ke depan, dengan menimbang kajian yang mendalam dan tidak tergesa-gesa.
Rencana ini dinilai sebatas wacana karena belum memiliki dokumen terkait seperti payung hukum yang jelas di dalam undang-undang (UU). Setidaknya, ada sejumlah aturan yang perlu direvisi dan beberapa Rancangan UU yang perlu diajukan. Undang-undang yang perlu direvisi, kata Fadli, seperti UU Nomor 29 tahun 2007, UU Nomor 24 tahun 2007, UU Nomor 23 tahun 2002, dan UU Nomor 10 tahun 2016.
Apalagi, pemerintah masih memiliki persoalan lain yang menjadi prioritas untuk diselesaikan seperti konflik di Papua. “Jangan sampai rencana pemindahan ibu kota menjadi dalih dari ketidakmampuan mengatasi persoalan yang ada,” ujar Fadli.
Pemindahan ibu kota juga perlu syarat khusus seperti memiliki pendanaan sekitar Rp 466 triliun yang tidak dianggarkan dalam Rencana Anggaran Penerimaan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Sebab, Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dan nota keuangan Agustus kemarin tidak mencantumkan pembiayaan pemindahan ibu kota.
(Baca: Ibu Kota Negara Pindah, Jakarta Tetap Jadi Pusat Ekonomi Indonesia)
Bagi politikus Partai Gerindra itu, pemindahan ibu kota negara bisa dijalankan jika beberapa indikator terpenuhi seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kuat yakni mencapai 8 hingga 12 %, saat ini baru di angka 5 %. Demikian juga soal kemiskinan, pengangguran, utang, dan defisit neraca perdagangan teratasi.
Dia juga menyoal pangan dan energi yang harus stabil sebagai indikator perpindahan ibu kota negara. “Sekarang mau memindahkan ibu kota, apa dasarnya, urgensinya?” ujar Fadli.
Kritik Fadli Zon bukan kali ini saja. Sehari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia, Fadli sudah menuding kajian pemerintah soal pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan masih lemah. Dia menilai rencana tersebut belum dapat direalisasikan dalam lima tahun ke depan.
(Baca: Pindah Ibu Kota, Jonan Sebut PLN Tambah Sambungan Listrik Kalimantan)
Jauh sebelum itu, dia bahkan menilai rencana pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta hanya isapan jempol dan pengalihan isu. Fadli mengatakannya ketika proses Pemilihan Presiden 2019 masih menunggu keputusan hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum.
Dia ragu rencana ini bakal direalisasikan oleh pemerintah lantaran sudah didengungkan sejak empat tahun lalu dan hingga belum terlaksana. “Nanti juga reda dengan sendirinya,” kata Fadli di sela-sela acara peringatan hari buruh di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Rabu (1/5/2019). Hanya dia tidak menjelaskan isu yang mungkin ingin dialihkan pemerintah. “Omong kosong saja rencana itu.”
Pertimbangan Jokowi Memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan
Presiden Jokowi telah memutuskan sebagian wilayah di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebagai kawasan ibu kota baru pemerintahan. Kajian pemindahan ibu kota baru sudah dilakukan sejak tiga tahun terakhir.
Jokowi menjelaskan, beban Jakarta sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat perdagangan, pusat keuangan, dan pusat jasa. Bandara Soekarno Hatta juga memiliki beban yang berat, demikian pula dengan Pulau Jawa. “Beban ini semakin berat kalau ibu kota pindah ke Pulau Jawa,” kata Jokowi.
(Baca: Menhub Persilakan Tiongkok Kembangkan Transportasi di Ibu Kota Baru)
Jokowi memperkirakan pemindahan ibu kota akan menelan biaya mencapai Rp 466 triliun. Hanya sebesar 19,2 % biaya tersebut akan didanai menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari pengelolaan aset.
Kalimantan Timur dipilih karena memenuhi sejumlah kriteria, di antaranya risiko bencana yang minim dan memiliki lokasi strategis di tengah-tengah Indonesia. Selain itu, kedua daerah ini berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang: Balikpapan dan Samarinda. Indikator lainnya, kawasan itu memiliki infrastruktur lengkap dan tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180.000 hektare.
Menurut keterangan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), pembangunan ibu kota baru itu akan dimulai pada tahun 2021. Target penyelesaian pembangunan gedung pemerintahan pada tahun 2024.