Jokowi Tegaskan Tak Ada Target 100 Hari Kerja di Periode Kedua

Dimas Jarot Bayu
30 Januari 2020, 19:31
jokowi, 100 hari kerja, program jokowi, kabinet indonesia maju
ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar
Presiden Joko Widodo hanya perlu melanjutkan program-program kerja di masa pemerintahan periode pertamanya.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Presiden Joko Widodo menegaskan tak ada target 100 hari kerja di periode keduanya memerintah saat ini.  Ia menyatakan hanya perlu melanjutkan program-program kerja di masa pemerintahan periode pertamanya.

"Sudah saya sampaikan sejak awal tidak ada target 100 hari, karena ini keberlanjutan dari periode pertama ke kedua. Ini terus ini, enggak ada berhenti, terus mulai lagi," kata Jokowi di di Puspitek, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (30/1).

Meski demikian, Jokowi memastikan tetap memberikan target yang harus dipenuhi bawahannya. Ia lantas meminta awak media menanyakan pencapaian para menteri secara langsung.

"Sudah saya beri KPI sendiri-sendiri yang jelas, yang konkret," kata Jokowi.

(Baca: Jokowi Puji Warga Tionghoa Sebagai Pekerja Keras & Jago Berdagang)

Jokowi bersama Ma'ruf Amin memulai kerja sejak dilantik pada 20 Oktober 2019 lalu. Dengan demikian, 100 hari masa kerja Jokowi-Ma'ruf jatuh pada tanggal 28 Januari 2020.

Sejumlah kebijakan Jokowi-Ma'ruf di periode keduanya ini dinilai negatif. Salah satunya yang terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Kontras menyebut ada 49 kasus pembungkaman kebebasan masyarakat sipil selama 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Dari jumlah kasus tersebut, ada 83 orang yang ditangkap oleh aparat penegak hukum.

"Mayoritas warga dan mahasiswa," kata Kepala Divisi Advokasi Internasional Kontras Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/1).

(Baca: Istana Bantah Kebebasan Masyarakat Dibungkam Selama 100 Hari Jokowi)

Kontras menilai negara kerap menempelkan stigma kepada mereka yang menggunakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Cap yang kerap ditempelkan, antara lain anarko, komunis, makar, hingga radikal.

"Stigma dilekatkan dengan (stempel) “anti-Pancasila” atau “anti-NKRI”. Sehingga atas alasan tersebut negara seolah punya dasar untuk membungkam ekspresi warga negara," kata dia.

Reporter: Dimas Jarot Bayu
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...