Setarakan Pangan Impor dengan Lokal, Omnibus Law Bisa Rugikan Petani
Pengamat dari Perhimpunan Ekonomi Tani Indonesia (Perhepi) menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) berbahaya untuk petani dan sektor pertanian di Indonesia.
Ketua Umum Perhepi Hermanto Siregar mengatakan, beleid tersebut menyetarakan produk impor pangan dengan produksi lokal sebagai sumber penyediaan pangan nasional. “Itu sangat berbahaya, ibarat tinju itu pertandingannya tidak seimbang," ujarnya di Jakarta, Selasa (18/2).
Menurutnya, Indonesia unggul pada komoditas pertanian dan industri, seperti kelapa sawit. Namun, komoditas padi dan beberapa komoditas pangan lainnya masih memiliki kapasitas yang lemah di Indonesia.
Hal tersebut bisa merugikan petani lokal. Sebab, produksi pertanian lokal akan tergerus dengan masuknya produk impor. Selain itu, jumlah petani di Indonesia masih besar. "Kalau petaninya fleksibel bisa berubah jadi pengusaha sih tidak masalah," ujar dia.
(Baca: Menaker Janji Omnibus Law Tak Bikin Upah Minimum Buruh Turun)
Dia menilai Indonesia belum bisa menyetarakan impor dengan produksi lokal. Oleh karena itu, dia berharap beleid tersebut dapat diubah. Terlebih lagi, omnibus law tersebut dinilai tidak konsisten terhadap penetapan komoditas strategis dan non strategis.
Sebagai informasi, draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjelaskan produk impor sebagai salah satu sumber utama penyediaan pangan dalam negeri, selain dari produksi lokal dan cadangan pangan nasional. Kebijakan ini tercantum dalam Pasal 66 yang merevisi Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Dalam rancangan aturan tersebut tertulis bahwa Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Kebijakan impor nantinya diambil pemerintah pusat dengan menetapkan peraturan impor pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani.
Dalam Undang-Undang yang berlaku saat ini, pemerintah mengutamakan produksi dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Sedangkan, produk impor hanya menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan pangan apabila ada kekurangan atau tidak ada produksi di dalam negeri.
(Baca: Yasonna Sebut Salah Mengetik dalam Draf Omnibus Law Cipta Kerja)