Ahli Vulkanologi Belum Pastikan Dentuman Berasal dari Anak Krakatau

Image title
11 April 2020, 09:31
erupsi gunung, letusan anak krakatau, anak krakatau, suara dentuman
ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda pada Minggu 23 Desember 2019. Warga Jakarta dikejutkan suara dentuman pada Jumat malam, bersamaan dengan erupsi Gunung Anak Krakatau.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Ahli vulkanologi dan mantan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono, belum dapat memastikan suara dentuman keras yang terjadi Sabtu (11/4) dini hari merupakan suara erupsi Gunung Anak Krakatau.

Adapun suara dentuman ini ramai dibicarakan di media sosial. Warganet menduga suara dentuman yang terdengar di Jakarta pada Jumat malam berkaitan dengan erupsi Gunung Anak Krakatau.

"Saya tidak punya data sumber dentuman, pada saat masyarakat mendengar dentuman bersamaan dengan letusan Anak Krakatau. Bisa jadi bahwa suara dentuman itu dari Anak Krakatau, apalagi saat ini kondisi sepi tidak ada kendaraan lalu lalang," kata Surono kepada Katadata.co.id, Sabtu (11/4).

Meski demikian, dia tidak dapat memastikan bahwa suara dentuman tersebut bersumber dari erupsi Gunung Anak Krakatau. Menurut dia, sebagai salah satu gunung api paling aktif, letusan merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan, pernah dalam satu tahun erupsi terus menerus terjadi untuk membangun tubuhnya menjadi semakin tinggi.

(Baca: Gunung Anak Krakatau Erupsi Jumat Malam, Kolom Abu Capai 657 Meter DPL)

Lebih lanjut, Surono menjelaskan fenomona dentuman hari ini menjadi viral di media sosial lantaran masyarakat masih khawatir akan bencana tsunami yang melanda Provinsi Banten beberapa waktu lalu.

Namun letusan-letusan itu juga diperkirakan tidak akan memicu tsunami. Pasalnya, gunung tersebut merupakan anak gunung sehingga material yang disemburkan tidak menyebabkan gelombang tinggi seperti ibu gunung Karakatau di masa lalu.

"Tidak (memicu tsunami), dia bukan ibunya, dia hanya Anak Krakatau yang tahun 2012 telah ditulis dalam jurnal ilmiah di mana longsorannya dapat memicu tsunami," kata dia.

Padahal, pemerintah justru dapat memanfaatkan fenomena alam yang terjadi untuk edukasi dan sebagai potensi pariwisata yang mampu mendatangkan devisa.

"Itulah deferensiasi alam yang bisa dijual sebagai tontonan, bukan untuk ditakuti. Malam hari yang sepi, semua mengisolasi diri suara dari kendaraan lenyap terimbas virus corona, maka tidak salah dentuman Anak Krakatau membahana, mengusir sepi," kata dia.

(Baca: Peneliti Ragu Kesiapan Pemerintah Hadapi Bencana Alam di Tengah Corona)

Sementara itu, Kapusdatinkom Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengkonfirmasi bahwa telah telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Lampung pada Jumat (10/4) pukul 22:35 WIB dengan tinggi kolom abu teramati 500 meter di atas puncak atau 657 meter di atas permukaan laut (DPL).

Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas sedang hingga tebal condong ke arah utara. Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 40 mm dan durasi 38 menit 4 detik.

"Dari pantauan PVMBG terlihat bahwa letusan terus berlangsung sampai Sabtu pagi (11/4) pada pukul 05.44 WIB," kata dia melalui siaran pers, Sabtu (11/4).

Hingga saat ini status Gunung Anak Krakatau berada pada level 2 atau waspada, dan aktivitas vulkanik sudah reda. Hingga berita ini diturunkan, belum ada laporan kerusakan maupun korban jiwa dari pihak berwajib. Petugas BPBD dan aparat setempat akan terus memantau dan melaporkannya kepada masyarakat.

(Baca: Ancaman Erupsi Gunung Api di Indonesia)

Reporter: Tri Kurnia Yunianto

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...