Cafe - Restoran Takut Putar Lagu Imbas Royalti, Pengusaha Minta Evaluasi Aturan


Sejumlah cafe dan restoran mulai khawatir memutar lagu komersil di tempat usaha mereka. Hal ini merupakan imbas penetapan Direktur PT. Mitra Bali Sukses, IGASI, yang merupakan pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali, menjadi tersangka dugaan pelanggaran hak cipta lagu.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) area DKI Jakarta Sutrisno Iwantono membenarkan banyak pihak yang khawatir memutar lagu komersil.
“Iya memang banyak yang khawatir seperti kejadian di Bali, kemungkinan mereka melihat berita itu,” kata Sutrisno saat dihubungi Katadata, Senin (4/8).
Namun demikian, Sutrisno mengakui masih ada restoran yang memutar lagu. Dia menegaskan, sejatinya produk utama yang dijual bukan lah musik, tapi makanan.
“Di restoran musik hanya sekadar pelengkap, pengunjung datang untuk makan bukan untuk dengerin musik. Kalau musiknya gaduh malah ganggu,” ujarnya.
Evaluasi Aturan
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meminta pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan terkait pemutaran musik di ruang publik dan disesuaikan mengikuti perkembangan zaman.
"Peraturan ataupun ketentuan harus selalu dievaluasi sehubungan dengan selalu terjadi perkembangan dalam berbagai faktor," kata Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.
Menanggapi aturan soal pembayaran royalti jika memutar musik di ruang publik, Alphonzus mengatakan terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan pemerintah pada saat melakukan evaluasi. Misalnya inovasi usaha dan inovasi teknologi.
Alasannya yakni sampai kini masih terus terjadi perdebatan perihal royalti bahkan di antara pencipta, musisi dan lainnya yang menunjukkan masih adanya kekurangan dalam peraturan ataupun ketentuan.
Hal lain yang ia sampaikan yakni aturan itu bukan hal baru dan sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
"Pembayaran royalti atas pemutaran musik atau lagu di pusat perbelanjaan bukanlah hal baru," kata dia.
APPBI pun, katanya, telah melaksanakan kewajiban tersebut. Asosiasi itu bahkan telah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 26 April 2019 sebagai pembayar royalti teraktif pada saat peringatan Hari Kekayaan Intelektual Sedunia ke-19 di Bali.
"Sampai dengan saat ini pusat perbelanjaan melakukan pembayaran royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional ( LMKN ) sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia," tambahnya.
Sementara terkait dengan dampak aturan, Alphonzus menilai pemutaran lagu atau musik di pusat perbelanjaan dimaksudkan untuk lebih memberikan suasana dan kenyamanan bagi para pengunjung saja.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkum Agung Damarsasongko mengatakan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Aturan tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya. Pembayaran royalti juga termasuk pada pemutaran lagu-lagu barat.
Hal tersebut dikarenakan langganan pribadi dari platform musik tersebut tidak termasuk dalam hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.
Pemutaran musik di ruang usaha termasuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.
Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan atau musik.
Bos Gacoan Jadi Tersangka
Sebelumnya, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali Komisaris Besar Polisi Ariasandy mengatakan penetapan tersangka Direktur IGASI berawal dari pengaduan masyarakat yang masuk ke Polda Bali pada 26 Agustus 2024. Pelapor dalam kasus ini adalah Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia.
Ariasandy mengatakan kasus tersebut kemudian ditingkatkan ke tahap penyidikan sesuai dengan Laporan Polisi tertanggal 20 Januari 2025, sehingga ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
"Hingga saat ini, hasil penyidikan menunjukkan bahwa tanggung jawab penuh dalam kasus ini berada pada direktur," kata Ariasandy dikutip dari Antara, (28/7).
Dia menjelaskan kerugian yang dialami pelapor atau nilai royalti yang seharusnya dibayarkan oleh Mie Gacoan, diperkirakan mencapai miliaran rupiah.
Perhitungan ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti Untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu kategori restoran. Estimasi perhitungan royalti yang digunakan tersebut yakni jumlah kursi dalam 1 (satu) outlet x Rp120.000 x 1 tahun x jumlah outlet yang ada.
Pemerintah telah mengatur terkait royalti lagu dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Pasal 3 aturan tersebut tertulis bahwa setiap orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.
Demikian pula jika penggunaan secara komersial untuk suatu pertunjukan dapat menggunakan lagu dan I atau musik tanpa perjanjian Lisensi tetap membayar Royalti melalui LMKN. Pembayaran Royalti harus dilakukan segera setelah Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 memang belum secara eksplisit menyebutkan sanksi dalam pelanggaran Hak Cipta lagi. Namun, PP ini memberikan dasar hukum bagi pemungutan royalti atas penggunaan lagu dan musik secara komersial dan menetapkan kewajiban pembayaran royalti.