Mentan Amran Nilai Tarif Trump Buka Peluang Peningkatan Ekspor CPO ke AS


Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan ada peluang peningkatan ekspor minyak sawit mentah (CPO) Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dalam waktu dekat. Hal itu ia sampaikan menanggapi penetapan sementara tarif impor produk asal Indonesia di AS sebesar 19%.
Amran menilai ekspor CPO berpotensi tumbuh karena pemerintah AS mengenakan tarif lebih tinggi terhadap produk asal Malaysia sebesar 25%.
“CPO kita pasti bersaing dan menang kalau dibandingkan dengan negara lainnya,” kata Amran di Gedung Radio Republik Indonesia, Kamis (17/7).
Amran mengakui produksi CPO nasional stagnan dalam lima tahun terakhir. Meski demikian, pemerintah yakin produksi akan tumbuh hingga 2029 seiring program peremajaan sawit rakyat (PSR).
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat, rata-rata capaian PSR hanya 50.000 hektare per tahun, jauh dari target 180.000 hektare.
Pada 2024, realisasi PSR bahkan hanya 38.247 hektare dengan penyaluran dana sebesar Rp 1,29 triliun. Sementara itu, produksi CPO nasional cenderung stagnan di angka 50 juta ton sejak 2020.
Amran mengaku belum menetapkan target peningkatan produksi CPO hingga 2029. “Kami masih fokus menyelesaikan produksi beras. Namun saya pastikan CPO nasional akan bersaing,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor CPO Indonesia ke AS menunjukkan tren pertumbuhan sepanjang 2013–2023. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2013, naik lebih dari 700% menjadi 468.800 ton.
Pada 2023, volume ekspor CPO ke AS meningkat 9,66% menjadi 1,98 juta ton. Meski begitu, angka ini masih lebih rendah dibandingkan ekspor ke India, Cina dan Pakistan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut AS bukan pasar utama ekspor CPO nasional. Namun, pangsa pasar CPO Indonesia di Negeri Paman Sam mencapai 89% hingga April 2025.
Industri Sawit RI Bisa Terancam
Sebelumnya, Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan permintaan CPO di AS sulit turun karena tidak semua industri bisa menggantikan CPO sebagai bahan baku. Dia mencontohkan pembuatan margarin tidak bisa diganti minyak kedelai.
Namun, Eddy mengingatkan posisi Indonesia di pasar AS bisa terancam oleh Malaysia. Beban ekspor CPO Malaysia lebih ringan, hanya 24%, sedangkan Indonesia 32%.
Beban ekspor tersebut berasal dari kewajiban pasar domestik (DMO), pungutan ekspor BPDPKS, dan bea keluar. Menurut Eddy, total beban ini membuat harga CPO Indonesia di pasar ekspor lebih mahal hingga US$ 221 per ton.
Dengan demikian, CPO asal Malaysia lebih kompetitif dibandingkan produk Indonesia. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah mengurangi beban ekspor khusus untuk pasar AS guna meningkatkan daya saing CPO nasional.
“Kalau beban ekspor CPO Indonesia bisa lebih kecil dari Malaysia, akan sangat bagus. Ini khusus untuk pasar Amerika Serikat,” ujar Eddy.