Pemerintah Akui Ada Tren Peningkatan PHK pada 2025, 7 Alasan Mendominasi


Pemerintah menemukan tren peningkatan angka pemutusan hubungan kerja sejak 2023. Angka PHK hingga 23 April 2025 telah mencapai 24.036 orang atau 30,82% dari realisasinya pada tahun lalu.
Secara rinci, angka PHK tahun lalu naik 20,21% secara tahunan menjadi 77.965 orang. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menunjukkan angka ini memasuki tren penurunan pada 2016-2019 sebelum melonjak mencapai 386.877 orang saat pandemi Covid-19.
Angka PHK perlahan susut menjadi 127.085 pada 2021 dan 25.114 pada 2022. Namun, korban pemecatan pada 2023 tercatat tumbuh lebih dari 100% atau sebesar 158,24% menjadi 64.855 orang.
"Hasil data kami menunjukkan ada 25 penyebab diambilnya langkah PHK pada tahun ini, namun ada tujuh alasan yang mendominasi," kata Yassierli dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakayat di Jakarta, Senin (5/5).
Berikut tujuh alasan yang mendominasi perusahaan melakukan PHK:
- Penutupan perusahaan
- Relokasi
- Perselisihan hubungan industrial,
- Tindakan balasan pengusaha akibat mogok kerja,
- Efisiensi untuk mencegah kerugian,
- Transformasi perusahaan
- Pailit
Hampir 80% buruh yang terkena PHK hingga 23 April 2025 berasal dari tiga provinsi, yakni Jawa Tengah 10.692 orang, Jakarta 4.649 orang, dan Riau 3.546 orang.
Sebanyak 93,33% korban PHK pada empat bulan pertama tahun ini berasal dari tiga lapangan usaha, yakni industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, dan aktivitas jasa lainnya.
Ada enam subsektor manufaktur yang mengalami tekanan dan berpotensi melakukan PHK, yakni tekstil, kayu bukan furnitur, mesin dan perlengkapan, kendaraan bermotor, furnitur, dan industri pengolahan lainnya.
Pada saat yang sama, Yassierli memaparkan lima subsektor manufaktur yang berpotensi tumbuh dalam waktu dekat, yakni makanan, minuman, farmasi, elektronik, dan reparasi.