"Sistem Indonesia Berbeda dengan Filipina"

Metta Dharmasaputra
3 April 2017, 17:15
Nelayan Bitung
Katadata

Tindak Pidana Perikanan yang melibatkan nelayan asal Filipina Jeffry Mag Aso turut menyeret nama Walikota Balut Virginia T. Cawa. Dia ditengarai sebagai pemilik kapal KM Garuda 06 yang dinahkodai Jeffry dan ditangkap di laut Sulawesi, pada Januari 2015 lalu.

Ia juga disebut-sebut turut serta mengatur penangkapan ikan di perairan Indonesia bersama seorang agen asal Essang, Talaud. Untuk mendapat kejelasan soal ini, kami mewawancarai Jerry T. Cawa, suami Virginia yang kini juga menjabat sebagai Wakil Walikota Balut, di kediamannya pada Sabtu (18/3) lalu. Jerry jugalah yang bertanggung jawab atas bisnis perikanan yang dirintisnya itu.

 
Virginia Cawa
Jerry T. Cawa dan Virginia Cawa. Mariel Gardiola.
Bagaimana perjalanan bisnis penangkapan ikan Anda?

Kami memulai dengan memancing tuna di laut dalam pada 2000 dan berlangsung selama sembilan tahun. Kami mempunyai dokumen legal untuk seluruh anak buah kapal, termasuk paspor. Karena itu adalah peraturan di Indonesia, maka aturan dan hukum harus dipatuhi.

Bisnis penangkapan ikan masih bagus ketika ada perjanjian perbatasan antara Indonesia dan Filipina, karena kami bisa masuk ke Indonesia dan membeli bahan bakar untuk kapal kami di sana. Namun, ketika perjanjian tersebut berakhir dan aturan semakin ketat, kami berhenti menangkap ikan.

Mengapa sampai memutuskan berhenti?

Indonesia punya sistem yang berbeda dengan Filipina. Di sini, ketika Departemen Perikanan, Gubernur, dan Walikota sudah menyetujui, Anda bisa menangkap ikan. Di Indonesia berbeda. Bahkan polisi di tingkat kota bisa menahan dan meminta Anda membayar denda, meskipun kesalahan yang dibuat hanyalah pelanggaran kecil. (Bayangkan) berapa banyak (uang) yang diminta untuk mereka yang benar-benar tidak memiliki dokumen legal? Itulah alasan kami berhenti.

Berapa banyak kapal yang Anda punya?

Dulu ada tiga kapal yang bisa menangkap ikan hingga 50 ton lebih. Kami menangkap hingga ke Halmahera dan Sorong. Sebetulnya, ada satu kapal lain, tapi kemudian tertangkap di Sorong dan ditenggelamkan. Ketika itu kami berangkat langsung ke sana untuk membawa pulang nelayan-nelayan kami.

Kapal tersebut tertangkap karena tidak memiliki dokumen. Lalu, kami bernegosiasi dengan petugas. (Jika) kamu membayar, maka mereka akan melepaskanmu sebelum penangkapan tersebut didengar oleh atasan mereka. Kapal kami saat itu ditangkap oleh Angkatan Laut. Di Indonesia sistemnya berbeda-beda. Jika Polisi yang menangkapmu, maka kamu bernegosiasi dengan Polisi. Tapi jika yang menangkap marinir, maka kamu harus bernegosiasi dengan mereka.

 Jika Polisi yang menangkapmu, maka kamu bernegosiasi dengan Polisi. Tapi jika yang menangkap marinir, maka kamu harus bernegosiasi dengan mereka.

Mengapa perairan Indonesia begitu menarik bagi penangkap ikan Filipina?

Banyak orang, termasuk dari Balut, tergoda dengan volume ikan yang bisa ditangkap di Indonesia. Jadi, hal yang wajar, ketika pemerintah Indonesia menahan orang asing pun, bukan hanya dari Filipina yang masuk dan melakukan penangkapan ilegal di perairan mereka.

Sebetulnya, kami sudah bicara dengan beberapa nelayan yang bekerja dengan (Alfredo) Lora (Municipal Councillor Sarangani, Davao, Filipina, yang juga pemilik kapal KM Garuda-05 yang ditangkap di Laut Sulawesi), agar mereka tidak menangkap ikan di perairan Indonesia lagi. Entah mengapa mereka masih melakukannya. Saya tidak menyalahkan pemerintah Indonesia yang menahan mereka. Setiap pemerintahan punya aturan hukum.

Benarkah banyak pengusaha Filipina yang menggunakan bantuan agen di Indonesia untuk menjalankan bisnis penangkapan ikan?

Mereka (para agen) adalah bajingan yang bilang bahwa mereka memiliki agensi untuk mengurus dokumen (penangkapan ikan). Setiap perjalanan mereka meminta bayaran 10 ribu peso hingga 15 ribu peso. Setelah itu, mereka menghilang dan itulah yang terjadi dengan Lora.

 
Nelayan Bitung
Nelayan memacu Pakura (perahu kecil khas Filipina) di Selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara. Pakura biasa digunakan oleh nelayan untuk menangkap tuna. Donang Wahyu|Katadata
 

Itulah salahnya di Indonesia. Mereka (agen) berusaha mengambil keuntungan dari situasi ini (aturan yang diperketat). Seorang agen pernah datang dan berusaha meyakinkan kami untuk kembali ke bisnis penangkapan ikan. Namun, saya bilang bahwa saya sudah tahu bagaimana mereka bekerja.

Nelayan yang ingin masuk ke perairan Indonesia betul-betul membayar agar bisa masuk. Namun, ketika mereka tertangkap, tidak ada yang membantu mereka. Jika beruntung, kita juga bisa mendapat hasil tangkapan yang lumayan di perairan Filipina. Tetapi mereka ingin uang cepat. Mereka tidak tahu risikonya jika tertangkap. 

 Nelayan yang ingin masuk ke perairan Indonesia betul-betul membayar agar bisa masuk. Namun, ketika mereka tertangkap, tidak ada yang membantu mereka. 

Berapa banyak perbedaan hasil tangkapannya?

Lebih dari 50 persen. Selain itu, perairan Indonesia hanya berjarak sekitar 40 mil, lebih dekat dibandingkan dengan General Santos. Mereka berangkat dari Balut menuju Indonesia pukul 10 malam dan sampai di sana sekitar pukul 4 atau 5 pagi. Pukul 4 sorenya mereka kembali ke Filipina.

Nelayan yang belum mendaratkan banyak ikan bertahan lebih lama. Itulah penyebab mereka tertangkap. Sedangkan mereka yang mendapatkan tangkapan banyak dalam waktu cepat, tidak tertangkap, karena bisa kembali pagi-pagi sekali ketika langit masih gelap.

Editor: Pingit Aria

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...