Kemenperin: Industri Komponen Otomotif Keluhkan Kenaikan Upah Minimum
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan bahwa industri otomotif, terutama produsen komponen kendaraan, telah mengeluhkan kenaikan upah minimum tenaga kerja. Pasalnya saat ini penjualan kendaraan sedang lemah sehingga kenaikan upah akan membuat kondisi keuangan perusahaan semakin tertekan.
"(Kenaikan upah) pasti berpengaruh karena itu bagian dari biaya produksi, yang sangat berdampak besar itu di komponennya," ujar Direktur Jenderal Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika di Jakarta, Rabu (4/12).
Menurut catatannya, ada lebih dari 30 perusahaan yang bergerak di industri komponen otomotif di Indonesia, yang telah mengeluhkan rencana kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK) lantaran akan mempengaruhi produktivitas ditengah lesunya penjualan.
(Baca: Kebijakan Upah Pekerja yang Timpang Memicu Tren Relokasi Industri)
"Kenaikan harga tenaga kerja kurang didukung kenaikan produktivitas, jadi sangat dirasakan sekali dengan keuangan perusahaan. Sementara, persaingan di antara pemain otomotif semakin ketat," kata dia.
Sebelumnya, kenaikan UMK di Jawa Barat dan Banten telah menyebabkan beberapa industri manufaktur merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah. Tercatat, hingga saat ini terdapat sekitar 10 pabrik alas kaki dan delapan industri plastik di Banten dan Jawa Barat yang merelokasi produksi ke Jawa Tengah karena memiliki standar upah minimum yang lebih murah.
Adapun UMK tertinggi di Jawa Tengah yakni di Kota Semarang sebesar Rp 2.715.000. Sementara UMK terendah ada di Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp 1.748.000. Rata-rata kenaikan UMK di Jateng sebesar 8,57%.
Sementara untuk provinsi Banten, UMK tertinggi berada di Kota Cilegon sebesar Rp 4.246.081. Sedangkan upah terendah di Kabupaten Lebak sebesar Rp 2.710.654.
(Baca: Upah Minimum Naik, 8 Pabrik Plastik di Jabar dan Banten Akan Pindah )
Bahkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terpaksa mengganti landasan hukum kenaikan upah dari Surat Keputusan Gubernur menjadi Surat Edaran Gubernur untuk mengurangi banyaknya perusahaan padat karya yang merelokasi usahanya.
Melalui surat edaran tersebut, perusahaan yang mampu wajib mematuhi UMK yang diputuskan walikota/bupati. Sementara bagi yang tidak mampu, diberi kesempatan untuk melakukan perundingan upah yang adil dengan buruh. Namun, perusahaan tetap harus memberikan upah lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
"Jika UMP polanya sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu ditetapkan melalui SK Gubernur, banyak industri padat karya yang tidak sanggup, kolaps," ujar Ridwan Kamil akun instagram miliknya yang diunggah Selasa 26 November 2019.
(Baca: Protes Kebijakan Upah Ridwan Kamil, Buruh Ancam Mogok Kerja)