Bos Danantara Ungkap Alasan RI Harus Gandeng AS untuk Bangun Kilang Minyak

Andi M. Arief
29 Juli 2025, 12:40
Chief Executive Officer (CEO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Rosan Roeslani berjalan usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Pertemuan tersebut untuk men
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.
Chief Executive Officer (CEO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Rosan Roeslani berjalan usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Pertemuan tersebut untuk menyampaikan perkembangan kegiatan Danantara terutama dari segi investasi.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

CEO Daya Anagata Nusantara (Danantara), Rosan P Roeslani, mengaku sedang melakukan pembicaraan investasi pembangunan kilang dengan Amerika Serikat. Rosan yang juga menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi itu menyampaikan langkah tersebut merupakan bagian dari komitmen penurunan tarif produk lokal ke Negeri Paman Sam.

Rosan menyampaikan pembangunan kilang tersebut merupakan implikasi dari perjanjian dagang dengan Amerika Serikat. Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump menurunkan tarif produk lokal ke negaranya dari 32% menjadi 19% dengan salah satu syarat peningkatan impor minyak mentah senilai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 245,11 triliun.

"Kami akan mengimpor minyak mentah dari Amerika Serikat ke Indonesia. Tentu kebijakan tersebut memerlukan kilang pemrosesan yang sesuai dengan karakter minyak mentah yang diimpor dari sana," kata Rosan di Gedung Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Senin (29/7).

Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat menyatakan minyak mentah di Negeri Paman Sam memiliki kepadatan yang ringan dengan karakter sulfur cenderung manis. Karena itu, mayoritas kilang minyak mentah di Amerika Serikat.

Namun, Rosan belum merinci lokasi maupun jumlah kilang yang akan dibangun dengan hasil investasi lokal di Negeri Paman Sam.

Alihkan Impor Minyak dari Arab Saudi ke AS

Rosan mengatakan peningkatan volume impor minyak mentah dari Negeri Paman Sam dinilai tidak akan membebani perekonomian nasional. Pasalnya, Indonesia tidak menambah impor minyak, melainkan hanya mengalihkan dari negara lain ke AS.

"Kalau dulu kita impor minyak mentah dari Arab Saudi, sekarang kami akan perbesar impor minyak mentah dari Amerika serikat," katanya.

Sebelumnya, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi menilai pengalihan impor ini tidak masalah selama pemerintah konsisten menjalankan upaya-upaya untuk mencapai kemandirian energi.

“Produksi minyak setidaknya butuh waktu lima tahun sejak penemuan cadangan,” ujarnya. Sementara pengembangan biosolar (pencampuran solar dengan minyak nabati) juga tak mudah karena keterbatasan lahan perkebunan. Artinya, untuk jangka menengah hingga panjang, impor energi masih diperlukan.

Karena itu, Komaidi mengatakan switching impor perlu perhitungan teliti. Jarak lebih jauh berarti biaya logistik naik, sedangkan waktu kirim yang lebih lama berarti perlu penyesuaian pengelolaan pasokan di dalam negeri.

Selain itu, ada kerentanan bila terlalu besar bergantung pada satu negara nun jauh sebagai pemasok energi utama. “Apa dimungkinkan produk migas yang dibeli dari perusahaan AS di negara lain dicatatkan sebagai asal AS? Karena selama ini kita juga membeli dari perusahaan AS,” tanya Komaidi.

Menurut dia, ada alternatif lain yang layak dipikirkan: memperbesar negosiasi dagang di sektor non-energi agar beban switching impor energi tak perlu sebesar itu.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...