Bauran Energi Terbarukan Ditarget 100% Pada 2035, Dari Mana Duitnya?

Ajeng Dwita Ayuningtyas
26 Juli 2025, 16:25
Diskusi pemerintah dan peneliti, menentukan strategi untuk fokus transisi energi, di acara Indonesia Net-Zero Summit 2025, Sabtu (26/7).
Katadata/Ajeng Dwita Ayuningtyas
Diskusi pemerintah dan peneliti, menentukan strategi untuk fokus transisi energi, di acara Indonesia Net-Zero Summit 2025, Sabtu (26/7).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan dalam kelistrikan Indonesia mencapai 100% pada 10 tahun mendatang atau 2035. Target ini lebih cepat dari target awal, yaitu pada 2040. 

Sebelumnya, hal itu diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto saat mengunjungi Brasil awal Juli lalu. "Para ahli saya mengatakan kita dapat mencapainya jauh lebih cepat," kata Prabowo. 

Namun, di lapangan, proyeksi pemerintah hingga 2034 menunjukkan bahwa bauran energi terbarukan baru ditargetkan mencapai 35%. Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menjelaskan, porsi itu naik signifikan dari sekitar 14% saat ini, dan untuk mencapainya diperlukan investasi sekitar US$ 171 miliar.

Untuk memenuhi kebutuhan dananya, Eddy menyampaikan akan melibatkan pihak swasta. “Planning-nya adalah, bagaimana pihak swasta dilibatkan dalam hal ini. 70% swasta akan masuk dan tidak membebani pemerintah,” tuturnya dalam Indonesia Net-Zero Summit 2025 di Jakarta, Sabtu (23/7).

Sementara itu, pemerintah berperan dalam membuat kebijakan agar tarif yang dihasilkan menarik bagi investor. Lalu subsidi yang diberikan untuk energi fosil dapat dialihkan menuju energi terbarukan.

Transisi energi terbarukan di Indonesia juga membutuhkan investasi besar untuk mendistribusikan sumber energi baru ke lokasi dengan demand yang tinggi. Meski demikian, Eddy menambahkan bahwa modal besar ini diperlukan untuk mencegah dampak dari penggunaan fosil yang lebih besar dari saat ini.

Transisi energi ini sekaligus menjadi momentum yang tidak bisa dilewatkan oleh Indonesia, negara dengan potensi teknis energi terbarukan lebih dari 3.686 GW. 

Menurut Eddy, jika Indonesia tidak memiliki sumber energi terbarukan, investasi dari luar negeri akan beralih ke negara lain. Produk Indonesia yang akan dikirim ke luar negeri juga akan dikenakan pajak karbon dan berdampak pada penurunan daya saing.

“Oleh karena itu, transisi energi adalah keharusan, kita tidak bisa menghindarinya dan kita harus tetap berdaya saing agar tampil di panggung dunia baik secara ekonomi,” tuturnya.

Tetap Tekan Pendanaan dari Negara Maju

Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menyampaikan, di tengah situasi geopolitik yang tidak stabil, Indonesia mengunci komitmen transisi energi dengan multilateral agreement, intergovernmental organization, dan tetap mendorong pendanaan transisi energi.

Diaz menjelaskan, target Indonesia dalam Second Nationally Determined Contribution untuk 2031-2035 lebih ambisius dari sebelumnya. Dokumen tersebut masih dalam proses finalisasi sebelum akan dikirim ke COP30 pada Agustus mendatang.

“Dengan adanya multilateral agreement seperti itu, kita seperti mengunci diri kita, supaya apa yang kita lakukan sesuai dengan target penurunan emisi kita,” jelas Diaz.

Bersamaan dengan itu, Diaz kembali menyampaikan perlunya pendanaan transisi energi, yang salah satunya didapat dari negara maju senilai US$ 100 miliar per tahun. Akan tetapi, realisasinya hanya US$ 67 miliar pada 2022.

“Kalau kita mau tetap climate focused kita harus terus mendorong adanya pendanaan dari Annex 1 countries, dari develop nations harus terus terealisasi,” tutur Diaz.

Perlu Solusi dari Indonesia untuk Indonesia

Pengamat Ekonom Lingkungan Andhyta Firselly Utami, menjelaskan perlunya kejelasan arah pemerintah Indonesia. Afu melihat adanya dualisme dalam arah kebijakan yang ingin dicapai. Dualisme tersebut salah satunya tergambar dari keinginan menurunkan tingkat deforestasi, bersamaan dengan program food estate yang memerlukan pembukaan lahan. 

Selain itu, Afu juga menyoroti pentingnya perlindungan domestik yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menangani dampak perubahan iklim.

“Tadi ada beberapa narasi dari Pak Menko Zulhas bahwa ini adalah tanggung jawab negara-negara global north, industrialized economy, ada tanggung jawab mereka secara historis. Itu betul, dan itu satu area risk atau bagaimana kita mem-protect diri kita untuk meminta tanggung jawab dari negara global north untuk menurunkan emisi mereka,” jelas Afu.

Akan tetapi, pemerintah Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan dampak domestik. “Seperti bencana iklim itu nyata kita alami secara domestik, threat-nya tidak datang dari luar. Yang kedua, misalnya, threat dari polusi udara yang setiap hari kita hirup, itu adalah threat domestik yang harus diselesaikan secara domestik juga,” jelas Afu.

Kedua komponen tersebut perlu seimbang dalam artian Indonesia memiliki hak untuk meminta bantuan pendanaan, sumber daya, dan kapasitas yang perlu dipenuhi dalam komitmen global. Secara bersamaan, Indonesia perlu mengelola risiko yang sifatnya domestik.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...