Freeport Waspadai Kenaikan Tarif AS ke Cina Bisa Tekan Permintaan Tembaga Global


PT Freeport Indonesia (PTFI) menilai implementasi kenaikan tarif impor produk dari Cina ke Amerika Serikat (AS) berpotensi menekan permintaan tembaga di pasar global. Hal ini disampaikan PTFI saat menanggapi keputusan pemerintah AS yang menurunkan tarif produk asal Indonesia dari 32% menjadi 19%.
Presiden Direktur PTFI Tony Wenas menjelaskan bahwa saat ini Cina menyumbang hingga 50% dari permintaan tembaga global, dan mayoritas produksi tembaga PTFI diekspor ke negara tersebut dalam bentuk katoda tembaga.
“Selama ini kami tidak pernah menjual tembaga, dalam bentuk apa pun, ke Amerika Serikat. Sebagian besar ekspor kami justru ke Cina. Kenaikan tarif barang dari Cina ke AS berpotensi menekan permintaan tembaga global, yang akhirnya juga berdampak ke kami,” kata Tony di Gedung DPR, Rabu (16/7).
Untuk diketahui, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump sempat menyebutkan tembaga sebagai salah satu komoditas yang akan diimpor dari Indonesia. Namun Tony memberi sinyal untuk mengalihkan pasar dari Cina ke AS bukan hal yang mudah.
Salah satu faktor penghambatnya adalah biaya logistik. Sebab, pengapalan ke Cina hanya butuh sekitar seminggu, sedangkan ke AS bisa sampai 45 hari.
Belum Berencana Mengalihkan Pasar Utama ke AS
Meski perdagangan internasional tidak mengenal batas negara, PTFI belum berencana mengalihkan pasar utamanya dari Cina ke negara lain, termasuk AS, meski produk asal Cina terancam kenaikan bea masuk di AS hingga 30%.
Selain itu, Tony menyatakan AS belum menjadi target pasar PTFI dalam waktu dekat, sebab negara tersebut tidak termasuk dalam skema produksi pabrik saat perencanaan awal.
“Rencana produksi kami sudah sejak lama memperhitungkan daya dukung lingkungan, keamanan, dan faktor lainnya. Pabrik kami juga tidak seperti sektor manufaktur yang bisa langsung menaikkan kapasitas saat ada permintaan tambahan,” ujarnya.
Tony menerangkan bahwa proses produksi tembaga PTFI mempertimbangkan skema tambang bawah tanah yang bersifat bertahap. “Penambangan konsentrat tembaga harus dilakukan secara berjenjang dan tidak bisa dilompati tahapannya,” ujarnya.
Tony juga memastikan PTFI tidak berencana menjual tembaga mentah atau konsentrat ke pihak mana pun, termasuk AS karena seluruh tembaga mereka telah diproses di pabrik pengolahan di Gresik, Jawa Timur.
Tony mencatat, mulai pekan depan, pabrik PTFI di Gresik akan mulai mengolah konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga. Kapasitas produksi ditargetkan mencapai 441.000 ton dalam 12 bulan pertama.
Meski begitu, Tony membuka kemungkinan berkoordinasi dengan pemerintah jika ada kebutuhan ekspor ke AS. “Kami akan berbicara dengan pemerintah kalau memang harus mengekspor tembaga ke AS” katanya.