
Bangunan modern empat lantai di sudut Menteng itu hanya berjarak 8 menit berjalan kaki dari Stasiun Sudirman. Menghadap ke timur, sinar matahari pagi menyoroti muka bangunan itu saban hari. Meski terpacak di jantung kota, lokasinya tersembunyi dari hiruk-pikuk jalan raya.
Didominasi warna hijau sage dan abu terang, bangunan yang dikenal dengan nama Rumah Flat Menteng itu tampak khusyuk dan anggun. Enam keluarga dengan total 15 orang mendiaminya. Salah satu di antaranya adalah Marco Kusumawijaya, arsitek dan pendiri Rujak Center for Urban Studies, organisasi yang menginisiasi flat ini.
“Kami tidak menjual. Tidak ada keuntungan, tidak ada pemasaran, tidak ada pinjaman ke bank. Kami pakai tabungan dan penghasilan,” ujar Marco saat ditemui Katadata.co.id, 17 Juli lalu.
Tiga lantai atasnya dipakai sebagai hunian dengan luas beragam. Adapun lantai paling dasar digunakan sebagai kantor Rujak Center, sebuah toko buku mungil milik penerbit Komunitas Bambu, dan sebuah taman asri yang melebar di sepanjang teras bangunan.
Rumah Flat Menteng adalah hunian flat pertama di Jakarta yang dibangun dengan landasan Peraturan Gubernur Nomor 31 tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta. Menurut beleid itu, rumah flat didefinisikan sebagai hunian tapak maksimal empat lantai yang dihuni oleh lebih dari dua keluarga dan dapat dilakukan dengan penerapan pertelaan.
Pergub itu menjadi landasan berharga bagi pembangunan flat. Sebelum pergub itu ada, rumah-rumah tangga di Jakarta hanya boleh mendirikan bangunan paling banyak dua lantai. “Itu ketidakadilan tata ruang,” kata Marco. “Sementara di Thamrin dan Sudirman tinggi bangunan naik terus.”
Hal lain yang membuat rumah flat ini menarik adalah skema koperasi di dalamnya. Penghuni adalah sekaligus anggota koperasi. Mereka secara kolektif menyewa lahan pada pemilik tanah dan membayar konstruksi sesuai luas unitnya masing-masing.
Di saat harga beli rumah di Menteng rata-rata mencapai belasan hingga puluhan milar rupiah, para penghuni Rumah Flat Menteng membayar Rp300 juta hingga Rp700 juta untuk konstruksi per unit. Secara bulanan, penghuni akan menyetor biaya perawatan unit dan iuran wajib ke koperasi.
Lalu setiap tahun, penghuni cukup membayar sewa tanah seluas 280 m2 itu senilai Rp90 juta yang dibagi enam keluarga. Setiap keluarga punya porsi “patungan” berbeda sesuai luas unit yang mereka tempati. Salah satu unit terkecil di flat itu (40 m2) hanya membayar sewa tanah Rp700 ribu per bulan.
“Harga sewa tanahnya akan berubah sesuai inflasi rata-rata setiap lima tahun,” kata Marco. Adapun durasi sewa tanahnya mencapai 70 tahun dan bisa diperpanjang. Meski para penghuni flat tak memiliki sertifikat properti seperti Surat Hak Milik atau Surat Hak Guna Bangunan, Marco memastikan para penghuni terjamin karena diikat perjanjian bersama dengan pemilik lahan.
Lalu bagaimana jika ada sebuah keluarga hendak hengkang dari flat tersebut? “Kami cari penggantinya,” kata Marco. Pengganti baru itu kemudian cukup membayar uang simpanan pokok penghuni yang keluar. “Tidak ada margin keuntungan karena ini bukan investasi,” kata Marco lagi.
Anggota koperasi juga terlibat aktif dalam segala pengambilan keputusan dan peraturan yang berkaitan dengan hunian mereka bersama. Jika mereka memutuskan keluar sebagai penghuni, mereka juga secara otomatis keluar dari keanggotaan koperasi.
Upaya Menyelesaikan Krisis Perumahan
Menurut Marco, Flat Menteng yang digerakkan dengan skema koperasi bisa menjadi salah satu upaya menyelesaikan krisis perumahan di Indonesia. Ia menyoroti tingginya harga rumah di Jabodetabek. Padahal, masih cukup banyak ruang yang tersedia di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya.
“Kepadatan Jakarta sekitar 157 jiwa per hektare. Kepadatan Kota Paris, minimal 450 jiwa per hektare. Kepadatan Kota Kopenhagen, 600 jiwa per hektare. Jakarta tidak padat,” kata Marco.
April lalu, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah menyebut backlog perumahan di Indonesia mencapai 15 juta unit. Jika benar, angka ini adalah yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Adapun pada 2023 terdapat sekitar 12,7 juta rumah tangga yang belum memiliki akses ke perumahan yang layak atau belum memiliki rumah sendiri dari total 70 juta rumah tangga di Indonesia.
Salah satu penyebab utama tingginya rumah tangga yang belum memiliki hunian sendiri adalah karena semakin tingginya kesenjangan antara kemampuan membeli rumah dan harga properti itu sendiri.
Dalam dua tahun terakhir, kenaikan median harga rumah di Jabodetabek untuk luas kurang dari sama dengan 60 m2 paling pesat terjadi di kawasan Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Tangerang. Di Jakarta Selatan, misalnya, pada Mei 2023, median harga rumah kurang dari sama dengan 60m2 berkisar Rp699 juta. Namun, angka ini melejit hingga Rp1 miliar per Mei 2025.
Inflasi tanah dan material bangunan yang terus mengalami kenaikan berdampak pada melejitnya harga properti setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, harga rata-rata tanah pada Maret 2024 umpamanya sudah naik 5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Tingginya harga rumah terhadap pendapatan juga tercermin dari riset Numbeo, platform daring yang menyimpan informasi tentang berbagai aspek perkotaan dari seluruh dunia, pada 2024. Riset itu menyebut rumah di kota-kota besar di Indonesia memiliki harga berbelas bahkan berpuluh kali lipat dari pendapatan tahunan warganya.
Harga rata-rata rumah di Jakarta, misalnya, setara dengan 19,76 kali pendapatan tahunan pekerjanya, menempatkan Jakarta di posisi kelima kota dengan kesenjangan tertinggi. Jika merujuk data BPS yang menyebut rata-rata gaji pekerja di Jakarta sekitar Rp5,2 juta per bulan, maka harga rumah di kota ini diperkirakan mencapai Rp1,2 miliar.
Selain itu, menurut Marco, ada penyebab lain mengapa harga rumah bisa meroket 15-20% setiap tahunnya. “Bukan hanya karena bahan bangunannya, tapi karena keuntungan yang diletakkan di atas harga dasar. Kalau beli rumah jadi, ada biaya-biaya lain seperti marketing, bank, dan sejenisnya,” katanya, merujuk pada aktivitas perumahan komersial.
Sayangnya, laju inflasi dan porsi margin pengembang yang besar ini tidak dibarengi dengan kenaikan upah dan pendapatan rata-rata yang mencukupi. Makanya kesenjangan daya beli terus melebar.
Hal semacam itu juga terlihat dari porsi pengeluaran rata-rata per kapita untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga yang semakin besar di saat mayoritas pengeluaran untuk kelompok barang lainnya cenderung menurun. Pada 2010, rata-rata orang mengalokasikan 20,4% pengeluarannya untuk urusan rumah. Namun, pada 2024, porsi ini sudah meningkat hingga 26,1%.
Karena itu, Marco tidak sepakat jika pemenuhan kebutuhan rumah, yang merupakan hak asasi manusia, diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas.
Adapun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut harga tanah dan real estate di kota-kota besar Indonesia sangat dipengaruhi kepemilikan lahan korporasi properti, yang menciptakan monopoli dan memicu kenaikan harga secara struktural.
Monopoli itu mencakup upaya pengembang melakukan praktik land banking, yaitu membeli, menguasai, dan mencadangkan lahan luas untuk proyek-proyek masa depan. Ini menyebabkan pasokan lahan untuk perumahan menjadi terbatas, yang akhirnya mendorong harga tanah dan rumah melonjak.
Pada 2022, KPA mencatat sekitar 70.969,60 hektare tanah di Jabodetabek dimiliki korporasi perumahan. Luas itu melebihi luas Kota Jakarta, atau sekitar sepersepuluh dari total luas Jabodetabek.
Salah satu solusi yang digencarkan pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan adalah program Kredit Perumahan Rakyat (KPR) yang bisa diajukan ke perbankan. Selama bertahun-tahun, KPR memang menjadi skema pembiayaan favorit masyarakat untuk membeli properti residensial.
Namun, data menunjukkan porsi pembelian properti residensial via KPR terus turun. Pada kuartal terakhir 2024, porsi KPR mencapai 72,52%. Angkanya menyusut menjadi 70,68% pada kuartal pertama 2025.
Menurut Bank Indonesia, pertumbuhan KPR tipe rumah menengah dengan luas bangunan 22-70 m2 mengalami perlambatan dari 13,6% yoy per April 2024 menjadi 8,6% per April 2025. Perlambatan juga terlihat pada penyaluran KPR tipe rumah besar (luas lebih dari 70 m2) dari 28,7% yoy per April 2024 menjadi 10,7% per April 2025.
Di saat bersamaan, risiko kredit macet atau NPL KPR meningkat dari 2,45% per April 2024 menjadi 3,01% per April 2025. Per Juni lalu, kredit macet bahkan menyentuh 3,24%, tertinggi sejak empat tahun terakhir. Hal ini bisa menjadi salah satu indikasi masyarakat semakin kesulitan membayar cicilan KPR.
Konsep kepemilikan kolektif Rumah Flat Menteng barangkali menjadi angin segar untuk pemenuhan kebutuhan perumahan sosial kelas menengah di tengah makin tidak terjangkaunya harga properti di ibu kota dan terjebaknya kelas menengah dalam lingkaran sewa hunian.
Dibandingkan membeli, ada kecenderungan masyarakat terutama generasi Z lebih memilih menyewa atau mengontrak rumah. Survei Jakpat pada 2023 “Property Perspective from Gen Z” menunjukkan, 36% responden memilih sewa karena belum siap secara finansial untuk membeli rumah.
Ini juga terlihat dalam tren inflasi sewa dan kontrak rumah awal tahun 2025. Berdasarkan data BPS, setidaknya sejak dua tahun terakhir, tren inflasi sewa dan kontrak rumah selalu tumbuh di bawah inflasi umum. Namun, per Januari 2025, inflasi sewa dan kontrak rumah mencapai 0,92% yoy atau sedikit lebih tinggi dibandingkan inflasi umum yang sebesar 0,76% yoy.
Sementara itu, di antara provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, Jakarta adalah provinsi terendah dalam hal tingkat kepemilikan hunian pribadi. Sebaliknya, tingkat kontrak atau sewa hunian mencapai 21,3%, tertinggi di antara kawasan lainnya.
Skema Kolektif untuk Hunian Terjangkau
Meski di sejumlah negara skema koperasi untuk penyediaan perumahan secara inklusif ini sudah banyak diadaptasi, konsep ini masih kurang dikenal di Indonesia di tengah dominasi konsep hunian komersial.
Seperti di Catalonia, Spanyol. Menurut riset Reyes et al. (2022), konsep koperasi perumahan digandrungi di tengah masalah penyediaan perumahan sosial yang layak. Di sana, koperasi perumahan menjembatani sejumlah orang sebagai anggota koperasi untuk bisa menempati rumah yang terjangkau dan inklusif.
Ada tiga kunci dari skema koperasi ini. Kunci pertama, kepemilikan kolektif hunian. Kunci kedua, berbasis hak pakai atau grant-of-use dalam jangka panjang, yang mana anggota membayar biaya masuk, dan akan dikembalikan saat anggota keluar dari koperasi. Kunci ketiga, hunian ditempati sejumlah orang yang memang memilih untuk tinggal bersama sehari-hari sebagai satu komunitas.
Di Jakarta, konsep koperasi untuk perumahan sosial semacam ini telah lebih dulu diadaptasi Kampung Susun Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. Menurut Batubara et al. (2024), saat pembangunan ulang Kampung Akuarium di era Gubernur Jakarta Anies Baswedan, para penghuni lebih memilih menggunakan skema koperasi dibandingkan skema rusunawa yang dikelola total pemerintah.
Koperasi ini yang kemudian menyusun skema hak dan kewajiban anggotanya yang sekaligus adalah penghuni, termasuk soal biaya perawatan bangunan dan pembagian unitnya.
Editor: Aria W. Yudhistira