Komitmen Industri Sawit,
Langkah Konkret Terapkan Bisnis Berkelanjutan
Industri sawit berkomitmen menjalankan rantai bisnisnya secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ESG.
Produsen sawit semakin menunjukkan komitmennya untuk mempromosikan produksi kelapa sawit yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial secara lebih baik.
Hal tersebut direspons pemerintah maupun pelaku industri lantaran dapat berimbas terhadap kinerja ekspor. Pada tahun lalu, industri pengolahan kelapa sawit menyumbang sedikitnya 70 persen kinerja ekspor industri makanan.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Setia Diarta menjelaskan, salah satu indikator keberhasilan program hilirisasi industri kelapa sawit antara lain bertambahnya ragam jenis produk turunan kelapa sawit.
Pada 2025, Indonesia ditargetkan mampu menghasilkan 200 jenis produk turunan sawit. Sampai dengan penghujung 2023, sudah teridentifikasi 193 jenis produk turunan kelapa sawit.
“Tapi, sebetulnya fokus pemerintah lebih jauh lagi, yakni menghasilkan pertumbuhan hilirisasi industri kelapa sawit yang berkualitas dan berkelanjutan,” kata Setia kepada Katadata Green.
Dia mengakui, tantangan terbesar hilirisasi industri sawit tak lain terkait pemenuhan prinsip-prinsip keberlanjutan, sembari menjaga daya saing produk hingga kancah global.
“Keberlanjutan dimaknai bahwa pemerintah perlu meyakinkan, seluruh proses bisnis kelapa sawit hingga hilir sesuai dengan prinsip dan kriteria sustainability. Alhasil, produk hilir Indonesia dapat diterima di pasar internasional,” ujar Setia.
Penerapan Prinsip Berkelanjutan Industri Sawit Indonesia
Penerapan prinsip environment, social, and governance (ESG) menjadi kebutuhan bagi industri sawit untuk berbenah ke arah keberlanjutan. Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan, penerapan prinsip ESG mendorong pemantauan dan pengelolaan lingkungan di lanskap perkebunan serta memberikan akses kepada pendanaan berkelanjutan.
Dalam aspek lingkungan, PT Dharma Satya Nusantara (DSN) salah satu contohnya. Perusahaan sawit ini melakukan inovasi untuk penyelamatan lingkungan dengan memanfaatkan gas metana menjadi bahan bakar truk operasional pengangkutan tandan buah sawit mereka.
“Penggunaan solar tidak ramah lingkungan. Apalagi harga solar industri mahal. Dengan ini, kami ingin mandiri secara energi,” ucap Project Management DSN Setyoadi Purwanto.
Setyo mengatakan, perusahaannya telah memulai projek Biomethane Compressed Natural Gas atau bio-CNG sejak 2019. Ini merupakan gas buangan yang mengandung metana yang sudah diproses dan diproyeksikan sebagai energi terbarukan pengganti gas alam dan batu bara.
“Di DSN, kami sudah memanfaatkan bio-CNG ini untuk 50 truk yang beroperasi. Ini menguntungkan baik secara bisnis maupun lingkungan,” ucapnya.
Dengan inovasi tersebut, PT DSN memenangkan Innovation Award pada Roundtable RSPO 2023 lalu.
Di aspek sosial, industri sawit bisa menggalakkan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau CSR, meningkatkan standar kesehatan dan keselamatan kerja, serta melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan yang mendorong pemberdayaan.
Musim Mas contohnya, sejak 2015 memprakarsai kegiatan di Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat dengan menjangkau petani swadaya dengan lahan kurang dari 20 hektare melalui wahana atau platform Smallholders Hub. Sebanyak enam hub yang tersebar di ketiga provinsi tersebut menjalankan program berupa peningkatan kapasitas petani untuk optimalisasi produktivitas, serta persiapan sertifikasi berkelanjutan.
Asian Agri dalam penerapan pelibatan petani swadaya juga merintis program Smallholder Inclusion for Better Livelihood & Empowerment (SMILE) di Riau pada 2020. Program SMILE ini melibatkan 3.018 petani, dan 390 di antaranya telah tersertifikasi Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO). Program ini juga memberi manfaat berupa pengurangan biaya operasi petani sekurangnya 30 persen, sekaligus meningkatkan produktivitasnya.
Di aspek governance atau tata kelola, industri dapat memperhatikan kejelasan perizinan dan legalitas. Selain itu, penerapan prinsip transparansi membantu pengawasan internal perusahaan yang baik.
Direktur Keberlanjutan dan Corporate Communication PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJ) Nunik Maharani mengatakan, keberpihakan terhadap environment, social, and governance (ESG) serta keberlanjutan menjadi DNA Austindo.
“integrasi ESG ke dalam bisnis disusun bersama, jajaran teratas terlibat untuk memastikan ini dipahami sampai ke bawah,” katanya kepada Katadata, Jumat (6/9).
ANJ sempat menghadapi tantangan mendasar dalam upaya menerapkan ESG, yakni membangun pemahaman kolektif. Oleh karena itu, secara berkesinambungan manajemen mengadakan forum-forum sosialisasi.
“Maka ini (ESG dan sustainability) bukan pilihan lagi tetapi memang keharusan,” ujar Nunik.
Untuk tata kelola industri sawit berkelanjutan, Sawit Sumbermas Sarana menjalankan program ketelusuran rantai pasok di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Dijalankan sejak 2017, perusahaan ini menjalin kerja sama dengan 932 petani.
Lahan petani seluas 2.300 hektare pun telah bersertifikasi RSPO. Kerja sama rantai pasok ini bertujuan untuk mengembangkan sistem pelacakan dan pelaporan, serta melakukan audit dan verifikasi demi rantai pasok yang mengikuti standar berkelanjutan.
Industri Sawit dan Peluang Masuk Perdagangan Karbon
Indonesia telah meluncurkan bursa karbon sejak September 2023 lalu. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, sektor perkebunan turut menjadi target dalam perdagangan karbon.
Dalam mekanisme perdagangan karbon, pelaku usaha wajib melakukan dekarbonisasi. Selain itu, pelaku usaha melakukan offset atau mengimbangi emisi melalui transaksi sertifikat penurunan emisi karbon.
Sejak awal diluncurkan pada 2023 hingga 18 Maret 2024 transaksi di Bursa Karbon Indonesia, OJK mencatat bahwa per 18 Maret, akumulasi volume transaksi sebesar 501.956 ton CO2e setara Rp31,36 miliar.
“Dari transaksi tersebut, sebesar 182.293 ton CO2e dan telah dilakukan retired melalui bursa karbon," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi dikutip dari Katadata.co.id.
Bursa Karbon Indonesia perlu dioptimalkan karena negara ini butuh memenuhi target iklim berupa net-zero emissions (NZE) pada 2060 dan Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030. Kebutuhan pendanaan masing-masingnya, sebesar US$1 triliun dan US$281 miliar.
Langkah strategisnya mendorong Nilai Ekonomi Karbon (NEK). NEK merupakan konsep untuk mengukur nilai moneter gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi sehari-hari.
Penerapan NEK dipayungi regulasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Di dalam peraturan ini dijelaskan bahwa NEK memiliki tiga mekanisme.
Mekanisme pertama adalah perdagangan karbon di antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade. Karakteristik mekanisme ini adalah pengimbangan emisi melalui skema carbon off set atau aktivitas jual beli batas atas emisi dengan mengomensasikan emisi di tempat lain.
Mekanisme kedua adalah pungutan karbon. Ini merupakan kewajiban tambahan bagi para emiter atau entitas yang mengeluarkan emisi. Pungutan karbon menggunakan instrumen pungutan pajak dan nonpajak negara.
Dan cara terakhir berupa pembayaran berbasis kerja atau result-based payment (RBP). Mekanisme ini berbentuk insentif kebijakan pengurangan emisi. Pembayaran nantinya akan diberikan setelah orang yang mengurangi emisi berhasil mencapai target pengurangan.
Berdasarkan kajian Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) yang bertajuk “Carbon Trading dan Potensi Perkebunan Sawit Indonesia”, sawit dapat terlibat dalam perdagangan karbon melalui tiga skema.
Skema pertama, konservasi penyimpanan karbon. Sawit dapat menyimpan karbon melalui mekanisme biosekuestrasi pada biomassa sawit. Berdasarkan Data Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020-2022, sawit dapat menyerap emisi hingga 972,5 mtCO2eq.
Skema kedua, meningkatkan penyimpanan karbon dengan menggunakan teknik agroforestri atau sistem pengelolaan pertanian yang menggabungkan dengan perhutanan. Atau dengan mengoptimalkan manajemen dan produktivitas produksi sawit. Ditambah inovasi teknologi pengolahan limbah tandan kosong juga bisa dilakukan.
Skema ketiga, penurunan emisi karbon. Caranya dengan inovasi pupuk Controlling Release Fertilizer (CRF), mensubtitusi ke penggunaan pupuk organik, dan inovasi penangkapan metana atau methane capture untuk Palm Oil Mill Effluent (POME).
Menurut Deputi Direktur Transformasi Pasar RSPO Indonesia Mahatma Windrawan Inantha, perdagangan karbon merupakan potensi untuk industri sawit mendapat insentif tambahan dari mengelola kawasan konservasi tinggi atau high conservation value (HCV) dan kawasan stok karbon tinggi atau high carbon stock (HCS).
Hanya saja, lanjutnya, sampai saat ini dari sisi administrasi dan regulasi masih perlu diperbaiki.
“Industri sawit masih menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah. Kami siap terlibat jika aturannya sudah jelas,” ucap Windrawan pada Katadata Green (22/6).
Rekomendasi Industri Sawit dalam Implementasi Perdagangan karbon
Seiring kehadiran bursa karbon, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) menilai, terdapat beberapa aspek yang luput dari jangkauan pemerintah. Menurut Plt. Ketua Umum DMSI Sahat M. Sinaga, beberapa hal ini berdampak terhadap penurunan karbon secara signifikan di industri pengolahan kelapa sawit.
“Ada beberapa aktivitas (yang dilakukan perusahaan sawit) tapi tidak masuk perhitungan pemerintah dalam (sektor) penetapan Enhanced NDC per 23 September 2022, yang mencakup lima sektor,” katanya kepada Katadata Green.
DMSI memperhitungkan terdapat potensi penurunan emisi karbon di sektor perkebunan sawit mencapai 70,6 juta ton CO2 eq per tahun. Ini hanya dari sektor perkebunan petani sawit yang dilengkapi dengan unit pengolahan TBS menjadi minyak sawit full nutrisi. “Belum termasuk penurunan emisi karbon dari perusahaan besar dan BUMN,” ujar Sahat.
Sejumlah aspek yang dinilai luput tadi, misalnya langkah beberapa perusahaan yang menurunkan emisi karbon melalui ekonomi sirkular. Mereka mencegah pembusukan alami dari biomassa yang menghasilkan metana (CH4) tinggi. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca sehingga keberadaannya di atmosfer mempengaruhi suhu bumi dan sistem iklim.
Selain itu, kata Sahat, sejumlah perusahaan juga menjalankan methane capture, yaitu menurunkan emisi karbon berkisar 30 -35 persen dari proses produksi CPO. Langkah ini ditempuh dengan memanfaatkan gas metana menjadi tenaga listrik maupun compressed methane sebagai bahan bakar.
Strategi lain yang diterapkan, misalnya mengembangkan teknologi dari wet process menjadi dry process. Cara ini, mampu menurunkan emisi karbon di industri pengolahan sawit sekitar 75 hingga 80 persen.
Sahat menjelaskan, apabila hal-hal di atas turut diperhitungkan bisa sangat bermanfaat. Sebab, bila 1 ton nilai CO2 eq per ton setara US$15 maka para pekebun sawit, termasuk petani, mampu meraup US$1,05 miliar per tahun dari trading Emisi GHG Reduction ini (Surplus SIE).