Masa Depan Kendaraan Listrik di Tangan Pemimpin Baru Indonesia
Berbagai kebijakan insentif adopsi kendaraan listrik akan masih terus dijalankan. Feebate/rebate cukai karbon dapat menjadi tawaran untuk adopsi yang tidak memberatkan APBN.
Pada 24 April, Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pemilihan Presiden 2024. Dengan meraup 96 juta suara, atau 58 persen dari total perolehan suara nasional, pasangan ini mengungguli dua pasangan capres-cawapres lainnya, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-M. Mahfud MD.
Dalam rangkaian persiapan dan kampanye, pasangan bernomor urut 2 ini cukup gencar membahas atau mengangkat isu kendaraan listrik. Misalnya, petang 24 November 2023, Prabowo-Gibran naik bus listrik ke KPU untuk mengambil nomor urut pasangan.
Sekretaris Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran Nusron Wahid menyatakan, pilihan kendaraan tersebut menunjukkan komitmen pasangan nomor 2 untuk melanjutkan kebijakan Presiden Joko Widodo mengembangkan kendaraan listrik, kendaraan ramah lingkungan.
Tidak ketinggalan, pasangan Prabowo-Gibran juga mengangkat isu konversi kendaraan konvensional ke listrik, meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran listrik PT PLN (Persero), dan menyediakan lebih banyak SPKLU.
Sebagai pemenang pemilu, Prabowo-Gibran akan menjadikan visi kendaraan listrik sebagai kebijakan pemerintahan baru pada Oktober mendatang.
Aspek Penting untuk Penghasil Emisi Terbesar
Sektor transportasi menjadi penghasil emisi terbesar ke-3 di Indonesia. Berdasarkan Data World Resources Institute (WRI), sektor transportasi menyumbang emisi 154,7 metrik ton ekuivalen karbon dioksida (MtCO2e) atau setara 15% pada 2022.
Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim atau Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memproyeksikan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor transportasi akan mencapai setara 145 MtCO2eq pada 2050. Proyeksi tersebut meningkat 23% dibanding emisi pada 2020, dengan skenario business as usual.
Untuk memproyeksikan upaya perubahan iklim, ada dua skenario, yaitu skenario business as usual berdasarkan kebijakan iklim yang ada di Indonesia saat ini.
Kedua, skenario ambisius. Dalam LTS-LCCR, skenario rendah karbon ini lebih ambisius serta menyelaraskan kebijakan dengan target Perjanjian Paris. Dengan skenario rendah karbon, tujuan Indonesia mencapai target emisi nol bersih pada 2060 akan lebih cepat terwujud. Dengan skema ambisius, emisi dari sektor transportasi diprediksi turun menjadi 100 MtCO2eq pada 2050. Proyeksi ini berkurang 31% dari skenario kebijakan business as usual.
Dalam LTS-LCCR, skenario ini dapat terwujud salah satunya dengan memasukan 30% elektrifikasi dalam aktivitas pembauran energi.
Direktur Utama PT PLN (persero), Darmawan Prasodjo menjelaskan, konsumsi 1 liter BBM setara dengan daya listrik 1,2 kilowatt per jam (kWh). Dengan sumber energi tersebut, kendaraan konvensional menghasilkan emisi sebanyak 2,4 kilogram ekuivalen karbon (kgCO2e), sedangkan emisi kendaraan listrik hanya 1,3 kgCO2e. “Artinya, dengan menggunakan kendaraan listrik kita sudah mengurangi sekitar 50% emisi karbon,” ujarnya.
Data Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri) pada Januari 2024 menunjukkan, jumlah kendaraan di Indonesia mencapai 160,2 juta unit. Rinciannya, sepeda motor sebanyak 133,8 juta unit (83,5%), sementara mobil pribadi 19,9 juta unit (12,4%).
Jumlah kendaraan listrik di Indonesia masih sangat sedikit dibanding kendaraan yang menggunakan BBM. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per 23 Oktober 2023 terdapat 74.988 unit motor listrik dan 20.414 mobil listrik.
Banyaknya penggunaan kendaraan pribadi dan emisi yang dihasilkannya, maka elektrifikasi di sektor transportasi sangat mendesak. Menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin, setidaknya, ada lima aspek perlu diperhatikan agar elektrifikasi kendaraan pribadi berjalan efektif.
Kelima aspek tersebut ialah adopsi penggunaan energi bersih sebagai bahan bakar, adopsi teknologi mutakhir dan rendah emisi, implementasi manajemen transportasi dan lalu lintas, pengetatan standar emisi dari waktu ke waktu agar emisi dapat menjadi nol, serta penegakan hukum. Kelima aspek ini harus dilaksanakan secara paralel.
“Tidak boleh hanya fokus misalkan di energi saja, kemudian mengabaikan teknologi, manajemen transportasi dan lalu lintas, serta standar emisi,” ujar Ahmad kepada Katadata Green pada 25 Agustus 2023 lalu. “Harus serentak semuanya.”
Kebijakan Kendaraan Listrik
Ahmad mengatakan, dinamika kebijakan kendaraan listrik di Indonesia cukup panjang dari tahun ke tahun. Untuk mengurangi emisi di sektor transportasi, KPBB sempat mengusulkan penggunaan kendaraan rendah emisi karbon atau low carbon emission vehicle (LCEV) pada 2013.
Pemerintah menerima usulan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Aturan PPnBM menyasar kendaraan bermotor. Kendaraan yang mendapat pengecualian PPnBM diarahkan menggunakan LCEV.
Dalam perjalanannya, LCEV menjadi cikal bakal adopsi kendaraan listrik. Namun, pemerintah bersama Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) juga tengah mengembangkan mobil ramah lingkungan berbiaya rendah atau low cost green car (LCGC). Saat itu, LCGC dianggap mampu menekan emisi karbon.
Namun, perbedaan utama LCEV dan LCGC terletak pada metode. LCEV memanfaatkan kecanggihan teknologi tenaga penggerak (powertrain) yang dapat diterapkan melalui teknologi kendaraan konvensional, listrik, serta variasi hibrida. Sementara itu, LCGC menempuh strategi penyesuaian bobot kendaraan, dengan penerapan terbatas pada kendaraan konvensional.
Pemerintah lebih fokus mengembangkan LCGC. Menurut Ahmad, lobi Gaikindo kepada pemerintah terkait pengembangan LCGC sangat kuat. Sebab, kala itu adopsi LCGC dianggap lebih menguntungkan dibandingkan LCEV.
Ini ditandai dengan tidak adanya peraturan turunan untuk LCEV. Sebaliknya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) justru mengeluarkan insentif untuk LCGC berupa potongan PPnBM yang pajaknya dikenakan maksimal 15%. “Baru akhir-akhir ini, pemerintah sepakat memotong PPN (Pajak Pertambahan Nilai) kendaraan listrik,” kata Ahmad mengungkapkan.
Pada April 2023, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2023 tentang PPN atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023.
Aturan itu juga dikenal dengan sebutan PMK PPN DTP Kendaraan Listrik. PMK ini merupakan insentif fiskal berupa keringanan PPN bagi kendaraan listrik beroda empat atau bus yang memenuhi standar tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Pasal 3 ayat 2 dalam PMK tersebut menyatakan, kendaraan listrik berbasis baterai dengan TKDN setara atau lebih dari 40% mendapat keringanan PPN sebesar 10%. Kendaraan dengan TKDN 20% hingga di bawah 40% mendapatkan keringanan 5%.
Lampiran PMK memberi contoh seseorang membeli kendaraan listrik yang mengandung TKDN 40% seharga Rp300 juta. Dalam skema biasa, harga kendaraan menjadi Rp333 juta setelah ada penambahan Dasar Pengenaan Pajak dan PPN.
Namun, dalam skema PMK PPN DTP Kendaraan Listrik, harga yang dibebankan kepada pembeli hanya Rp303 juta. Sebab, PPN senilai Rp30 juta bakal ditanggung negara.
Demikian juga dengan kendaraan TKDN 20% hingga 40%. Apabila kendaraan tersebut adalah bus seharga Rp555 juta, maka pemerintah akan menanggung PPN Rp25 juta. Alhasil, konsumen cukup membayar Rp530 juta.
Pro dan Kontra Insentif
Berbagai kalangan, termasuk dari pemerintah mendukung adopsi kendaraan listrik. Saat menerbitkan PMK No. 38/2023 pada 3 April 2023, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan, aturan tersebut bisa mengakselerasi transformasi ekonomi.
Tujuannya demi meningkatkan daya tarik investasi di ranah ekosistem kendaraan listrik, perluasan kesempatan kerja, serta percepatan peralihan dari penggunaan energi fosil ke energi listrik. “Ke depan diharapkan akan mempercepat pengurangan emisi, sekaligus efisiensi subsidi energi,” ujarnya.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin Taufik Bawazier mengatakan, PMK tersebut juga bertujuan meningkatkan minat masyarakat untuk membeli kendaraan listrik. Harapannya, insentif tersebut bisa mendorong produksi 35.862 unit mobil listrik dan 138 unit bus listrik pada 2023.
Sekretaris Jenderal Gaikindo Kukuh Kumara mengkritik penerbitan penerapan PMK No. 38/2023. Mekanisme perpajakan tersebut menyebabkan dealer harus menanggung PPN 10%.
“Baru nanti bisa direstitusi pemerintah pada akhir tahun. Itu cukup memberatkan bagi dealer, terus terang saja,“ ujar Kukuh kepada Katadata Green pada 27 Agustus 2023.
PMK No. 38/2023 pasal 5 menyebutkan masa penanggungan berlaku April sampai Desember 2023. Sementara, pasal 7 ayat 2 menyampaikan laporan realisasi penanggungan disampaikan pada 31 Januari 2024. Alhasil dealer harus menunggu hampir setahun untuk mendapatkan pembayaran restitusi.
Pemerintah telah menanggapi keberatan tersebut dengan menerbitkan PMK No. 116 Tahun 2023.
Pasal 10A PMK tersebut memungkinkan dealer yang dianggap berisiko rendah– sesuai pasal 9 ayat 4c Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak PPN dan Jasa dan PPnBM—boleh mengajukan pendahuluan restitusi.
Dealer berisiko rendah adalah dealer yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan senilai maksimal Rp1 miliar, telah membayar PPN selama 12 bulan terakhir, tidak sedang dalam pemeriksaan atau penyidikan tindak pidana perpajakan, dan tidak pernah dipidana.
Kukuh berpendapat dekarbonisasi sektor transportasi sebenarnya bisa memanfaatkan banyak jalur. Adopsi kendaraan listrik bisa berdampingan dengan adopsi kendaraan listrik hibrida maupun pengembangan bahan bakar alternatif, seperti bioenergi etanol.
Ahmad mengatakan kebijakan pemerintah sebenarnya sudah mulai terbentuk dan saling melengkapi. Namun, rendahnya harga pasca pengurangan pajak belum bisa mendorong konsumen lebih berminat membeli kendaraan listrik.
Feebate/Rebate Cukai Karbon: Senjata Pamungkas
Lantaran elektrifikasi sektor transportasi belum optimal, Ahmad menawarkan kebijakan feebate/rebate cukai karbon sebagai solusi.
Berdasarkan naskah akademis KPBB yang bertajuk Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik, feebate/rebate cukai karbon adalah skema insentif dan disinsentif yang mengacu kepada emisi setara karbon dioksida dari kendaraan.
Semakin banyak rata-rata emisi kendaraan baru, semakin besar pula cukai karbon yang akan dibebankan kepada produsen kendaraan tersebut. Sebaliknya, kendaraan yang memenuhi standar karbon harganya akan dikurangi melalui subsidi dari pungutan cukai.
Ahmad memberi ilustrasi penerapan cukai karbon. Pemerintah menetapkan standar emisi karbon kendaraan maksimal 118 gram karbon dioksida per km (gCO2/km). Data menunjukan emisi mobil kendaraan utilitas khusus atau special utility vehicle (SUV) sebesar 230 gCO2/km. Ini berarti, mobil tersebut mengeluarkan emisi 112 gCO2/km lebih banyak dari standar.
Melalui regulasi feebate/rebate cukai karbon, pemerintah akan mengalikan kelebihan ini dengan harga teknologi penurunan karbon sebesar Rp2,2 juta untuk setiap 1 gCO2/km. Hasilnya, mobil SUV tersebut dibebankan cukai sebesar Rp230 juta.
“Produsen akan membebankan cukai ke pembeli. Misalnya harga mobilnya Rp460 juta, mau tidak mau ditambahkan Rp230 juta dari cukai karbon, menjadi Rp690 juta per unit,“ kata Ahmad memaparkan.
Sebaliknya, kendaraan yang memenuhi standar karbon akan diberi insentif. Misalnya, kendaraan listrik seharga Rp715 juta memiliki emisi karbon sebesar 60 gCO2/km atau 58 gCO2/km lebih rendah dari standar. Dengan demikian, kendaraan ini berhak atas insentif sebesar Rp127,6 juta (Rp 2,2 juta x 58 gCO2/km), sehingga harganya menjadi Rp587,4 juta.
Kondisi ini akan mendorong konsumen lebih tertarik terhadap kendaraan rendah karbon karena harganya lebih murah. Akhirnya juga akan mendorong produsen kendaraan untuk mengikuti preferensi pasar tersebut.
Skema ini juga tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Melalui skema ear-marking, cukai dari kendaraan yang tidak memenuhi standar dialokasikan sebagai reward untuk kendaraan-kendaraan yang memenuhi standar,“ ujar Ahmad.
Menurut Ahmad, cukai juga berlaku untuk seluruh jenis kendaraan, baik konvensional maupun LCEV. Sepanjang kendaraan tersebut mampu memenuhi standar karbon, maka berhak atas insentif. Pemerintah pun bisa mendorong minat masyarakat untuk menggunakan rendah karbon seperti kendaraan listrik dengan efektif dan tidak diskriminatif.
Variasi skema feebate/rebate sudah diterapkan di beberapa negara. Mengutip Dialogue Earth, Tiongkok memberikan insentif pembeliaan kendaraan listrik berbasis baterai dan plug-in hibrida (PHEV) masing-masing sebesar ¥12.600 dan ¥4.800 (masing-masing setara Rp28 juta dan Rp10 juta) per unit.
Sementara di Singapura, pemerintah menerapkan kebijakan disinsentif fiskal intensif pada pembelian kendaraan konvensional sejak 2016. Menurut situs Land Transport Authority serta kajian KPBB, kendaraan listrik baru keluaran tahun 2021─2023 akan mendapatkan rabat 45% dari biaya pendaftaran kendaraan.
Selain itu, kendaraan yang menghasilkan emisi rendah bahkan niremisi karbon masing-masing akan diberikan insentif sebesar S$25.000 dan S$15.000 (setara Rp293 juta dan Rp176 juta).
Di sisi lain, kendaraan beremisi moderat tidak akan diberi insentif atau pun biaya tambahan. Namun, kendaraan beremisi tinggi akan dikenakan biaya tambahan untuk memberikan insentif kepada kendaraan beremisi rendah atau pun niremisi.
Peluang untuk Pemimpin Baru
Menurut Ahmad, pemerintah sebenarnya sudah mengatur standar karbon kendaraan. Pertama, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional yang saat ini sedang direvisi. Perpres ini mengatur tentang standar penghematan bahan bakar.
Selanjutnya Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai. Terakhir, PP Nomor 73 tahun 2019 tentang Pengecualian Pajak untuk Kendaraan Rendah Karbon. PP ini kemudian direvisi menjadi PP Nomor 74 tahun 2021 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Penerapan cukai karbon juga dapat diperkuat kebijakan pemerintah untuk mengutip pajak dari emisi. Salah satunya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Regulasi ini menata ulang beberapa ketentuan umum dan tata cara perpajakan, termasuk penerapan pajak karbon.
Saat menyampaikan pidato pengantar Rancangan UU HPP pada sidang paripurna di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 2021 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap.
Hal ini dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC), dan kondisi perekonomian.
“Dengan demikian, sistem pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia bukan hanya adil, tapi juga terjangkau dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat luas,“ kata Sri.
Awalnya, pajak karbon akan diterapkan pada pembangkit listrik tenaga uap batu bara pada 2022. Pajak akan ditarik berdasarkan emisi yang melampaui batas ketentuan pemerintah, dengan tarif paling rendah Rp30 kgCO2e.
Namun, aturan tersebut baru akan diterapkan pada 2025, kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers 27 Agustus 2023.
Kebijakan kendaraan listrik menjadi salah satu pekerjaan rumah di tangan pemerintahan baru 2024-2029. Tak hanya menurunkan emisi, tetapi juga mengejar pemenuhan TKDN dan mempercepat laju perekonomian nasional.