ANALISIS DATA

Peluang Untung di Balik Sejarah Kejatuhan Terburuk Bursa Saham

Nazmi Haddyat Tamara

02 Mei 2020, 10.00 WIB

Virus corona telah berdampak besar terhadap perekonomian. Berbagai sektor dan pilar ekonomi terpukul, termasuk pasar modal dan bursa saham. Hampir semua indeks harga saham di seluruh dunia anjlok, bahkan hingga level terendah dalam beberapa tahun terakhir.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengalami nasib buruk. Kumpulan saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini berada pada level 4.716 dan telah turun 25% sejak awal tahun. Kali terakhir IHSG memasuki zona 4.000 adalah tahun 2016.


Performa IHSG sepanjang 2020

Alhasil, kapatalisasi Rp 1.907 triliun atau sekitar 25% menguap dari bursa saham Indonesia menjadi Rp 5.469 triliun. Sedangkan sekitar 20 Triliun dana asing keluar dari bursa sepanjang tahun ini, khususnya karena penjualan masif di 3 bulan terakhir.

Tak hanya soal kapitalisasi pasar dan dana asing, keadaan ini juga menciutkan transaksi di BEI. Rata-rata frekuensi transaksi harian turun 1,49% menjadi 462 ribu kali. Sejalan dengan itu, nilai rata rata transaksi harian juga turun 23,84% menjadi Rp 6,34 triliun.

Kondisi ini diikuti dengan penurunan rata-rata volume transaksi yang terperosok 51,87%, dari semula 14,54 miliar saham menjadi 7 miliar saham.

Salah Satu Penurunan Terdalam Sepanjang Sejarah

Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

Sebelum virus corona merebak di Indonesia, IHSG sebenarnya dalam tren penurunan dengan meninggalkan level 6.000 dan bergerak terbatas di zona 5.000 dalam dua bulan pertama tahun ini. Pada saat diumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, IHSG belum merespons negatif, bahkan masih naik pada beberapa hari perdagangan.

Keadaan berbalik pada pekan selanjutnya, tepatnya pada 9 Maret 2020. Bursa saham anjlok hingga 6,58% dalam sehari. Ini penurunan terdalam, setidaknya sejak 9 tahun lalu. Saat itu, tepatnya 22 September 2011, IHSG turun hampir 9% dalam waktu sehari.

Melongok jauh ke belakang, penurunan harian terdalam pernah dialami IHSG pada 8 Januari 1998. Saat itu, IHSG jatuh 12% dalam sehari. Hal itu merupakan salah satu rangkaian krisis keuangan yang terjadi pada 1997 dan 1998. Selain 1998, penurunan tajam juga terjadi saat krisis keuangan 2008.

Jika dilihat secara pergerakan mingguan, pekan kedua dan ketiga Maret 2020 menjadi salah satu penurunan terbesar sepanjang sejarah. Dua pekan tersebut bergabung dengan masa krisis saat 1997-1998, 2008, dan beberapa pekan lain saat terjadi gejolak pada pereknomian global.

Sejak jatuh akibat krisis virus corona, IHSG sempat mencapai titik terendahnya pada 24 Maret 2020. Saat itu, IHSG ditutup pada level 3.937 atau turun 37% dari perdagangan awal tahun. Untuk kali pertama IHSG melewati level psikologis 4.000 dan merupakan angka yang sama pada Agustus 2013.

Demi meredam kejatuhan IHSG, otoritas bursa sempat menaikkan batas bawah penurunan menjadi minus 10% (sebelumnya 25%-35%). Lalu, dinaikkan lagi menjadi minus 7%.

Kebijakan ini pun tak mampu mengerem penurunan sehingga bursa memberlakukan penghentian perdagangan saham atau trading halt selama 30 menit bila IHSG anjlok lebih dari 5% dalam satu hari.

Kebijakan ini hanya meredam penurunan bursa secara harian. Jika dilihat kumulatif, terhitung sejak 5 Maret 2020,  tiga hari pasca kasus pertama virus corona diumumkan di Indonesia, hingga ditetapkannya corona sebagai pandemi global, IHSG telah turun 30% hanya dalam waktu 14 hari perdagangan sampai ke titik terendahnya.

Sedangkan saat krisis keuangan 2008, IHSG butuh waktu 16 hari perdagangan untuk turun hampir 40%. Kejatuhan bursa tahun ini bahkan lebih parah dibandingkan krisis 1997-1998, yang kala itu turun 30% dalam waktu 20 hari.

Pola Bursa Saham saat Pandemi

Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Hingga akhir April, jumlah kasus positif virus corona Covid-19 di seluruh dunia menembus 3 juta kasus dan telah menyebar hampir ke seluruh negara di dunia. Pandemi besar Ini merupakan kali pertama setidaknya sejak 100 tahun terakhir saat Flu Spanyol mewabah pada 1918-1920.

Meski tidak semasif Covid-19, wabah yang pernah terjadi di abad 21 adalah endemi SARS yang juga masih satu keluarga virus corona. Endemi pada medio 2002-2003 ini menyebar di 30 negara dengan menjangkit 8 ribu orang dan menewaskan lebih dari 700 orang.

Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pras.
Foto: Adi Maulana Ibrahim|Katadata

Endemi ini juga berpengaruh pada bursa saham dunia. Dow Jones Industrial Average (DJIA) yang menjadi salah satu acuan bursa saham Amerika Serikat terkoreksi dalam sejak merebaknya kasus pertama SARS hingga puncak pada awal 2003.

Indonesia, dengan kasus yang relatif lebih minim sempat mengalami gejolak bursa saham meski tak separah negara lain. Laju IHSG hanya tertahan setelah sempat rally panjang dari pertengahan 2002.

Hal menarik, bursa saham mulai rebound sejak puncak kasus SARS terlewati. Indeks saham dunia naik sampai WHO mengumumkan kasus SARS sudah mereda. Setelah itu, kegiatan perekonomian berangsur membaik dan bursa saham pun kembali melanjutkan rally panjang hingga akhir 2004 atau 2 tahun pasca endemi SARS.

Mengutip hasil Riset BNP Paribas Asset Management, turunnya pasar saham karena isu wabah merupakan kesempatan emas bagi investor yang memiliki pandangan long term. Sebab, bakal meraih keuntungan yang besar setelah pandemi berakhir.

Saatnya Koleksi Saham?

Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz

Anjloknya IHSG sepanjang 2020 ini diiringi dengan turunnya semua Indeks Sektoral. Meski ada sentimen lain yang mempengaruhi setiap sektor, ketidakpastian perekonomian masih menjadi motor utama penurunan IHSG beserta sektor-sektor di dalamnya. Penurunan sektoral ini tercatat bervariasi, mulai dari 17% hingga 45%.

Properti dan pertanian merupakan dua sektor yang mengalami penurunan terdalam. Keadaan pandemi saat ini hanya memperparah kondisi yang sudah tidak menguntungkan sebelumnya.

Oversupply yang terjadi di sektor properti, dan anjloknya harga komoditas pertanian menjadi sentimen negatif utama untuk kedua sektor ini. Selain berakhirnya pandemi, sentimen fundamental di atas masih sangat berpengaruh untuk sektor tersebut.

Performa Indeks Sektoral sepanjang 2020

Konsumsi menjadi sektor paling kebal, dengan penurunan paling tipis sebesar 17%. Sektor ini dimotori oleh Unilever (UNVR), duo Indofood: ICBP dan INDF, Mayora (MYOR), serta dua raksasa rokok yakni Sampoerna (HMSP) dan Gudang Garam (GGRM).

Dalam berbagai keadaan, saham sektor consumer tercatat lebih kuat menahan guncangan. Namun, karena penurunan yang tak terlalu dalam, sektor ini diprediksi memiliki potensi kenaikan terbatas saat keadaan berbalik.

Beralih ke sektor keuangan, melihat pergerakan yang dekat dan identik dengan IHSG menjadi sesuatu yang menarik. Motor utama sektor ini adalah 4 pemain utama yakni 3 bank BUMN (BBRI, BMRI, BBNI) dan satu bank milik grup Djarum yakni BBCA. Sektor perbankan menjadi cerminan dari pasar modal secara umum. 

Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta/ama.
Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta/pd.

Secara valuasi, saham perbankan telah mencapai undervalue baik dilihat dari PER ataupun PBV. Nilai PER (Price Earning Ratio) biasanya digunakan untuk membandingkan harga saham dengan kemampuan perusahaan dalam mencetak laba.

Sedangkan PBV (Price to Book Value) adalah rasio harga saham dibandingkan nilai bukunya. Meskipun, valuasi ini akan berubah secara dinamis mengikuti kinerja Q1 2020 yang diprediksi akan mengalami penurunan.

Secara historis, PER dan PBV saham-saham ini jauh lebih tinggi dari nilai sekarang. Sebut saja BBCA, pada 2018 mempunyai PER 24,9 dan 22,6 pada 2019. Lalu BBNI dengan PER 4,94 dan PBV 0,7 pada 2018.

Dengan melihat tren ke belakang, bukan tidak mungkin saham perbankan ini akan kembali pada nilai wajar seperti tahun-tahun sebelumnya.

Riset ini juga menargetkan potensial gain yang bervariasi mulai dari 20% hingga 40% untuk masing-masing saham. Tentunya, hal ini akan dicapai dalam waktu jangka panjang sejalan dengan keadaan pandemi sudah mereda dan roda perekonomian berangsur normal.

***