Meraba Wajah dan Tingkah Pemudik saat Pandemi Covid-19
Mudik merupakan ritual tahunan menjelang Idul Fitri. Namun, mudik memicu polemik di saat pandemi virus corona. Di satu sisi, pergerakan massa secara serempak dalam jumlah besar berpotensi meningkatkan penyebaran virus. Di sisi lain, mudik seakan pilihan satu-satunya bagi masyarakat berpenghasilan menengah - bawah di tengah surutnya aktivitas ekonomi.
Pemerintah telah membuat kebijakan belajar, bekerja, dan beribadah di rumah demi mengurangi penyebaran Covid-19. Selain juga mengimbau agar tidak pulang kampung di tengah pandemi, terutama bagi penduduk Jakarta dan sekitarnya yang merupakan episentrum pandemi Covid-19.
Tapi, gelombang mudik telah terjadi. Hal ini dimulai sejak kasus positif covid-19 pertama, kemudian meningkat tajam saat pemerintah mengeluarkan seruan pembatasan aktivitas di luar rumah (social distancing).
Fenomena ini tergambar dalam survei Katadata Insight Center secara online pada 29-30 Maret 2020. Sejumlah responden mengaku sudah pulang kampung. Sebagian besar adalah mahasiswa. Selain untuk berlindung dari penyebaran virus corona, mereka berpendapat kegiatan perkuliahan dapat dilakukan di rumah masing-masing.
Adanya gelombang mudik ini dikonfirmasi oleh 20% responden yang mengakui ada orang yang dia kenal dan di sekitarnya lebih dulu mudik. Selain mahasiswa/pelajar, mereka adalah pekerja sektor informal seperti pedagang kecil dengan tujuan mudik Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
Terjadinya mobilitas dari kota besar khususnya DKI Jakarta mengakibatkan munculnya sejumlah kasus positif baru di berbagai daerah khususnya di pulau jawa. Pemerintah daerah pun telah mulai melakukan pembatasan mobilitas dan langkah lain guna mencegah penyebaran virus ini.
Meski begitu jika gelombang mudik tetap terjadi, maka lonjakan kasus Covid-19 tak terhindarkan. Apalagi tren nasional terus meningkat. Data pemerintah menyebutkan, total 6.575 kasus positif per 19 April 2020. Sebanyak 686 di antaranya dinyatakan sembuh, dan 582 jiwa meninggal. Selain itu, ada belasan ribu pasien dengan status pengawasan dan ratusan ribu orang yang berstatus dipantau.
Gelombang mudik diperkirakan terus terjadi, terutama mereka yang ingin berlebaran di kampung halaman akhir Mei nanti. Hasil survei Katadata Insight Center menunjukkan ada 12% responden yang menyatakan akan mudik, dan 21% yang belum memutuskan. Di sisi lain, terdapat 63% responden yang sudah menyatakan untuk tidak mudik di tengah pandemi Covid-19.
Mereka yang berkeinginan mudik termasuk di dalamnya pegawai swasta dan PNS/ ASN. Hampir 50% responden berstatus Sosial Ekonomi Status (SES) C,D,E. Kendaraan pribadi adalah pilihan utama yang digunakan untuk mudik, diikuti pesawat terbang. Pilihan ini didasarkan pada kesadaran responden untuk meminimalisasi risiko penyebaran dan penularan virus corona di tempat umum termasuk transportasi publik.
Bertemu kerabat atau keluarga di kampung halaman adalah alasan mereka mudik. Lebih dari 75% responden berniat menemui orang tua atau mertua yang mayoritas sudah berusia lanjut. Direktur Riset Katadata Insight Center Mulya Amri, Ph.D mengatakan, fenomena ini dikhawatirkan akan meningkatkan penyebaran virus corona.
“Hampir semua responden yang akan pulang kampung ini, mengaku memiliki kerabat atau keluarga berusia di atas 45 tahun. Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona Achmad Yurianto pernah mengatakan bahwa korban meninggal terbanyak berada di rentang usia 45-65 tahun. Mereka ini rentan,” tutur Mulya.
Sementara jika disimpulkan menurut karakteristik dan demografi responden, laki-laki cenderung ingin mudik dibandingkan perempuan. Begitu pula, kalangan muda berusia 17-29 tahun cenderung ingin mudik atau belum memutuskan. Semakin bertambahnya usia, maka keinginan untuk mudik cenderung menurun terutama pada usia 45 tahun ke atas.
Dari sisi penghasilan, mereka yang memiliki Social Economic Status (SES) menengah ke bawah cenderung ingin mudik atau belum memutuskan. Semakin tinggi SES, maka keinginan untuk mudik cenderung berkurang. Hal ini berkaitan dengan tingkat pemahaman mengenai covid-19, juga ketahanan ekonomi yang tercermin dalam penghasilan yang tinggi.
Menurut Mulya, pada masa pandemi yang mengharuskan pembatasan kehidupan sosial, kelompok muda dan berpenghasilan rendah rentan mengalami penurunan pendapatan dan bahkan PHK. Apalagi mereka yang bekerja di sektor-sektor yang memerlukan interaksi tatap muka dengan pelanggan.
Dia berharap profil pemudik serta faktor yang mempengaruhi niat mudik yang terlihat dari survei ini, diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah. Terutama dalam membuat kebijakan yang tepat untuk menahan laju perpindahan orang dari daerah merah ke wilayah lain.
Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah tujuan utama mayoritas responden yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Tujuan lainnya adalah Jawa Timur, DI Yogyakarta dan beberapa kota besar di luar Jawa. Daerah-daerah ini termasuk zona merah, yakni ada di 10 besar kasus terkonfirmasi Covid-19 nasional.
Selain itu, berdasarkan Indeks Kerentanan Provinsi terhadap Covid-19 yang disusun oleh Katadata Insight Center, termasuk dalam daerah yang rentan terhadap Covid-19. Indeks yang dirilis pada 3 April ini mengukur kerentanan daerah terhadap penyebaran corona melalui tiga indikator risiko yaitu risiko terkait dengan karakteristik daerah, risiko kesehatan penduduk, dan risiko terkait mobilitas penduduk.
Daerah-daerah ini juga tidak didukung oleh kondisi layanan kesehatan yang memadai. Artinya, jika daerah ini dipenuhi penduduk yang pulang kampung, dikhawatirkan akan meningkatkan risiko penularan. Pada akhirnya menyebabkan layanan kesehatan di daerah tidak mampu menangani lonjakan pasien.
Hasil survei dan indeks kerentanan ini dapat menjadi referensi bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan. Terutama dalam mengantisipasi terjadinya penambahan jumlah kasus positif yang disebabkan oleh mobilitas mudik lebaran.
“Kami menemukan untuk Jawa Tengah dan Jawa Barat, gerakan mudik selain dari daerah merah Covid-19, juga berasal dari kabupaten/kota di dalam provinsi itu sendiri,” kata Mulya.
Salah satu upaya pemerintah membatasi pergerakan penduduk adalah melalui penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kriteria utama yang ditetapkan Menteri Kesehatan dalam penetapan PSBB adalah tingkat penyebaran virus corona di wilayah tersebut. Kemudian, beberapa pertimbangan lain adalah kesiapan daerah dalam aspek sosial dan ekonomi.
Menteri Kesehatan telah memberikan persetujuan PSBB ke sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta yang memberlakukan selama 14 hari mulai 10 April 2020. Kemudian lima wilayah di Jawa Barat, yakni Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi yang dimulai pada Rabu, 15 April 2020.
Daerah lain, yang telah memberlakukan PSBB adalah Tangerang Raya yang mencakup Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Di luar Jawa, satu-satunya daerah yang telah ditetapkan berstatus PSBB adalah Kota Pekanbaru, Riau. Kota ini menjadi epicentrum baru covid-19 mengingat mobilitas yang tinggi terutama ke luar negeri. Selain itu, Makassar dan Bandung Raya akan menjadi wilayah selanjutnya yang berstatus PSBB dan efektif mulai pekan ke-empat April.
Dengan berlakunya PSBB, pemerintah melarang aktivitas di atas 5 orang, termasuk sekolah dan perkantoran. Begitu pula transportasi umum dan kendaraan pribadi yang hanya boleh mengangkut 50% dari kapasitas normal. Penerapan PSBB diharapkan dapat menahan laju mobilitas penduduk, dan pada akhirnya mengurangi penyebaran virus corona.
***
Laporan lengkap dapat diunduh pada tautan ini
Unduh Survei KIC Corona
Tim Katadata Insight Center
Editor: Aria Wiratma Penulis: Nazmi Haddyat Tamara, Amalia Afifah
Tim Survei: Vivi Zabkie, Amalia Afifah, Laksamana Yuda Citra Handika
Visualisasi Data: Nazmi Haddyat Tamara