Test ProPS Cakrawala
Apple baru merilis iPhone 11 beberapa hari lalu, dan saya teringat lagi dengan Steve Jobs, pendiri Apple. Sebagai orang yang mengidolakan beliau, saya teringat kata-katanya, “Kita tidak bisa mengerti simpul kehidupan dengan melihat ke depan, tapi kita bisa mengerti simpul kehidupan dengan melihat masa lalu. Kamu harus percaya setiap kejadian bakal tersimpul ke depan.”
Cakrawala saya pada masa ini terhadap startup mungkin tersimpul dari masa lalu.
Semasa saya SMA terjadi kerusuhan buruh di Medan. Sekolah-sekolah diliburkan beberapa hari. Saya terkungkung di rumah dengan komputer Intel 486 dan gim Romance of Three Kingdoms II dari KOEI. Gim tersebut berdasarkan cerita perang daerah-daerah di Tiongkok di akhir dinasti Han pada 169 - 280 Masehi.
Karena sangat ingin memenangkan gim tersebut, saya berusaha membaca literatur Romance of Three Kingdoms dan berusaha mengingat provinsi tempat kelahiran pahlawan-pahlawan perang terkenalnya. Harapannya, saya bisa menguasai lebih awal provinsi tersebut. Kemudian menunggu sang pahlawan lahir, muncul, dan bergabung dengan pasukan saya. Di sini saya belajar tentang “anticipate”.
Pahlawan-pahlawan yang muncul di Three Kingdoms, kadang disebut Sam Kok, selalu dari daerah kecil. Ia memenangkan perang kecil di wilayahnya, kemudian menjadi jenderal pasukan besar dan memimpin pasukan di provinsi tersebut untuk menguasai provinsi lain. Lalu, namanya akan terdengar dalam skala yang lebih luas dan memimpin perang lebih besar di level kerajaan. Di sini saya belajar konsep “local hero” di mana tidak ada orang yang bisa menjadi besar secara tiba-tiba. Semua harus dimulai dari sesuatu yang kecil dan lokal.
Di gim tersebut, kita juga harus memilih perang-perang kecil yang dengan gampang bisa dimenangkan. Kumulasi dari pasukan kecil tersebut bisa digunakan untuk membentuk pasukan besar dalam perang antarprovinsi. Dan perang-perang tersebut selalu dipimpin oleh jenderal atau advisor yang kuat, salah satunya penasihat Zhuge Liang yang menjadi favorit saya.
Tidak ada jalan singkat. Setiap peningkatan kemampuan dilakukan dengan bertahap, marginal, sedikit demi sedikit. Tetapi selalu pertempuran yang kita lewati sehingga tetap sejalan dengan visi besar untuk memenangkan perang yang lebih besar. Di sini saya belajar untuk memenangkan perang kecil untuk membentuk dan membangun kemampuan berperang yang lebih besar. “To win a war, you need to choose your battles.”
Tidak ada jalan singkat. Setiap peningkatan kemampuan dilakukan dengan bertahap, marginal, sedikit demi sedikit. Tetapi selalu pertempuran yang kita lewati sehingga tetap sejalan dengan visi besar untuk memenangkan perang yang lebih besar.
Tanpa disadari, semua strategi tersebut saling terhubung dalam pengembangan ekosistem startup Indonesia. Dimulai dari berinvestasi ke sektor yang terlihat jelas maju, mendukung anak-anak muda sehingga menjadi pahlawan lokal, sampai berfokus ke sektor yang low hanging fruit sebelum melakukan sesuatu yang kompleks.
Kemudian, pada saat kuliah di Universitas Bina Nusantara, saya terpikat dengan gim “Warcraft II dari Blizzard”. Ini adalah gim strategi multi-player pertama. Karena internet masih terbatas, saya menggunakan kabel printer paralel yang di-cross untuk menantang teman kos-kosan. Hanya bisa satu lawan satu.
Di sini saya mencoba membaca buku perang Sun Tzu untuk mengerti perang satu lawan satu di gim tersebut. Dan agar bisa menang perang di Warcraft II, hal yang pertama dilakukan begitu permainan dimulai adalah mengirimkan scout untuk melakukan dua hal.
Pertama pemetaan lokasi perang, sehingga setiap sumber daya (mineral, kayu) dapat diketahui letak dan posisinya. Dan kedua melakukan scouting ke kandang lawan. Dua hal ini berkaitan dengan ilmu kenalilah musuhmu dan kenalilah medan perangmu.
Hal ketiga dari ilmu Sun Tzu yang paling sulit adalah mengenal diri sendiri. Untuk itu perlu diingat dan dihitung dengan tepat penggunaan resource yang sudah ditambang, waktu pembangunan unit, dan urutan unit yang dibangun di gim Warcraft II tersebut. Hal ini harus disesuaikan dengan hasil scout ke markas lawan, karena tiap unit di Warcarft II ada counter unitnya.
Bukankah ketiga hal tersebut persis digunakan dalam strategi membangun produk digital?
Market research (peta di gim), competitive analysis (lawan di gim), dan yang terpenting membangun feature (unit perang di gim) pada waktu dan urutan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasar.
Melihat ke belakang, aktivitas 25 tahun yang lalu ternyata membentuk cara berpikir saya sekarang. Simpul-simpul yang terbentuk (the dots) ternyata bisa dimengerti dengan melihat ke masa lalu dan percaya akan terbentuk pada masa yang akan datang.
Tapi ada satu hal yang sangat mengelitik, mengapa literasi kepahlawanan Tiongkok yang begitu tua bisa diterjemahkan ke dalam gim yang menarik, meningkatkan nalar, dan relevansi antara dunia gim dan dunia nyata. Bukankan Indonesia juga kaya dengan cerita-cerita kepahlawanan di jaman Sriwijaya atau Majapahit dan memiliki potensi untuk dikembangkan hal yang sama? Apakah kurang pengembangan karakter, marketing, dan distribusi narasi membuat karakter-karakter pahlawan asli Indonesia lebih susah didapatkan gim ataupun bukunya?
Kalau ada yang ingin serius mengembangkan hal tersebut, mari kita garap bersama.