Lompatan Membangun Ekosistem Digital Indonesia

Teknologi digital memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk membuat inovasi baru. Perlu modal kemampuan berpikir.
5 Juli 2019
123rf.com

Sepuluh tahun lalu mungkin tidak ada yang pernah membayangkan ekosistem digital Indonesia bisa menjadi seperti hari ini. Pada 2009 ada tiga hal yang mendorong East Ventures, yang baru dibentuk, untuk melihat potensi tersembunyi di Indonesia.

Pertama, populasi internet Indonesia sebesar 30 juta dari 230 juta penduduk. Angka 30 juta ini sangat fantastis kalau diperhatikan lebih lanjut. Ini lebih dari seluruh penduduk Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam saat itu. Dan masih ada 200 juta penduduk yang belum tersentuh internet. Hari ini sudah lebih dari 140 juta penduduk Indonesia dapat mengakses internet dari total penduduk 265 juta.

Kedua, pemakai internet sudah menggunakan Facebook, Twitter, Google, dan layanan digital lainnya, tanpa adanya kantor perwakilan mereka di Indonesia. Artinya, adopsi pengguna digital terjadi secara natural. Ada kemungkinan ini disebabkan Indonesia menggunakan abjad sehingga adopsi produk digital terjadi cepat.

Ketiga, ketika itu pengguna Blackberry membeludak, lalu Android dan iPhone mulai mendapatkan momentum. Ada generasi yang mengenal internet langsung dari perangkat telepon. Mereka tidak mengenal internet dari desktop atau komputer biasa. Ini dapat diartikan internet engagement dengan user semakin dekat karena mereka menggunakan perangkat yang selalu melekat dengan dirinya.

Pada saat itu tidak ada yang benar-benar menggarap potensi ini dan tidak ada yang namanya ekosistem digital di Indonesia. Bahkan banyak yang tidak mengerti apa itu digital, di luar tiga layanan di atas.

Harus ada perubahan cara berpikir sehingga ekosistem yang belum ada ini bisa berkembang secara organik dan berkesinambungan ketika kincirnya tidak bisa berputar. Harus ada terobosan di luar kewajaran sehingga ada kekuatan yang menggerakan kincirnya (flywheel).

Leap of faith

Menggunakan pendekatan mesin waktu, East Ventures memprediksi ekosistem digital harus diawali dengan e-commerce. Di waktu lampau, 5-10 tahun ke belakang, e-commerce selalu menjadi lokomotif dari semua ekosistem digital di negara-negara yang sudah lebih berkembang. Tetapi ada kearifan lokal yang harus selalu terjaga.

Teknologi digital memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk memulai dan membuat inovasi baru, karena modal yang diperlukan bukan modal fisik atau uang, tapi kemampuan berpikir dan semua orang memiliki hal tersebut. Internet sebagai platform distribusi menghilangkan batas-batas fisik dan meratakan akses informasi.

Tapi yang tidak ada adalah kesempatan untuk memulai.

Dengan pendekatan venture capital (VC) hal ini bisa dilakukan. Ada beberapa paradigma yang menjadi terobosan melalui pendekatan ini.

Karena produk inovasi bertujuan mengubah cara berperilaku atau berusaha, dibutuhkan cara berpikir yang lebih baru, segar, dan tidak terkungkung dengan paradigma lama. Anak-anak muda, yang ada dan mengerti teknologi dan internet, tidak memiliki pengalaman maupun bukti bahwa hal ini bisa dijalankan di Indonesia. Mereka hanya dianggap menjual mimpi. Sementara sebagian lain terpesona dengan produk dan layanan luar negeri.

Investasi-investasi perusahaan rintisan dari East Ventures bukan berdasarkan hitungan matematika belaka, tapi investasi dari hati.

Dilihat dari perhitungan matematika, kondisi perekonomian Indonesia, infrastruktur pembayaran, infrastruktur logistik, daya beli dan sebagainya, ada 1001 alasan untuk menghitung kalau investasi venture capital di Indonesia tidak akan berhasil.

Kami percaya bahwa di dunia yang baru ini pengalaman bukan menjadi modal utama dalam berinovasi. Dan sebagai orang Indonesia, kami juga percaya Indonesia akan bergerak ke arah yang lebih baik, apa yang kurang akan diperbaiki.

Harus ada leap of faith untuk melihat sesuatu yang belum terjadi. Begitu terjadi momentum positif akan ada snowballing effect, dan momentum itu bertambah besar dan ekosistem terbentuk secara natural.

Bermodalkan jumlah penduduk terbesar keempat di seluruh dunia, dan kita percaya manusia diciptakan sama di hadapan Tuhan, seharusnya Indonesia menjadi kekuatan ekonomi keempat terbesar di dunia pula.

Pertemuan pertama dengan William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison membuktikan bahwa ada anak-anak muda yang mengerti potensi di Indonesia, berpikir dengan cara baru, dan membuat terobosan teknologi dan produk internet pertama yang dijual di Tokopedia ada kaos “Kami tidak takut” – gerakan komunitas pasca-Bom Kuningan. Ini menunjukkan kearifan lokal. Dalam waktu 48 jam setelah pertemuan pertama, investasi diberikan kepada mereka.

Demikian juga dengan Jason Lamuda dan Ferry Tenka yang memulai Disdus dan kemudian diakuisisi oleh Groupon. Ferry Unardi dan Derianto Kusuma memiliki ide di sektor travel sebelum diberi nama Traveloka. Albert Lucius dan Agung Nugroho memulai Kios Untuk Dagang Online (Kudo) dan kemudian diakuisisi Grab.

Edi Sulistyo yang memulai Loket untuk mempermudah akses tiket di Indonesia dan diakuisisi Gojek. Haryanto Tanjo dan Grady Laksmono membantu puluhan ribu UMKM melalui aplikasi pos – Mokapos.

John Marco Rasjid, Chrisanti Indiana dan Christopher Madiam membangun pengalaman belanja baru di dunia kosmetik dengan Sociolla, juga Belva Devara dan Iman Usman yang tergerak meratakan akses pendidikan melalui Ruangguru, dan 300 nama lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Tapi semua memiliki kesamaan, mereka muda, mengerti teknologi, punya mimpi, dan butuh kesempatan.

Belajar dari pengalaman 10 tahun ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa investasi-investasi perusahaan rintisan dari East Ventures bukan berdasarkan hitungan matematika belaka, tapi investasi dari hati.

Willson Cuaca

Pendiri dan Managing Partner East Ventures. Mendanai banyak startup di Indonesia dan Asia Tenggara. Beberapa startup besar di Indonesia yang didanainya adalah Tokopedia, Traveloka, Ruangguru, Warung Pintar, Cohive, Sociolla, IDN Media, dan Fore.