Saatnya Indonesia Menjadi Kiblat Startup Dunia
Berdasarkan laporan Crunchbase, salah satu media yang melakukan pendataan terhadap pendanaan startup, East Ventures menjadi salah satu perusahaan venture capital teraktif nomor delapan di dunia pada akhir tahun lalu. Ini merupakan hal yang membanggakan, tapi sedikit mengherankan lantaran berasal dari Indonesia.
Sering sekali dunia memandang rendah Indonesia. Berita-berita dari Tanah Air biasanya negatif sehingga membangun persepsi kurang baik dan meletakkan posisi Indonesia di bawah negara-negara Asia Tenggara yang lain.
Pertanyaan susulan yang selalu muncul yaitu apakah mungkin Indonesia memiliki demikian banyak startup? Apa kriteria bagi perusahaan rintisan untuk memperoleh pendanaan?
Ada dua hal utama dalam pemilihan perusahaan rintisan yang sering kita sebut dengan 2P: people atau team founder dan potential market. Dulu oleh kami kerap disebut 3P: people, product, dan potential market.
Tapi setelah waktu berjalan, sebuah analisis menunjukkan bahwa produk kalah penting dari orang dan pasar. Karena good people will develop good product. Jadi lebih baik berfokus ke manusianya.
Di antara orang dan potensi pasar, market ini juga kalah penting karena good people will navigate the market. Tapi orang yang baik harus berada di pasar yang besar agar perusahaan tersebut bisa berkembang dengan sangat cepat. Karena itu, akhirnya diputuskan 2P sudah cukup.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan juga bahwa poros utama dari startup adalah orang yang membangun dan merintis perusahaan tersebut, yang juga menjadi modal utama ekonomi digital.
Di dunia digital, yang menang adalah produk yang berkualitas dan dapat menyelesaikan masalah dengan waktu tersingkat, termurah, dan terbaik.
Hal ini sangat sejalan dengan salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo dalam mengembangkan sumber daya manusia Indonesia dalam pemerintahannya yang kedua. Diperlukan peningkatan kualitas manusia secara masif sehingga kita bisa berkompetisi dengan negara tetangga maupun dunia.
Startup di Indonesia juga miliki modal besar yang tidak dimiliki startup di negara lain, yaitu modal negara yang penuh dengan masalah. Hal ini dikarenakan dua hal. Pertama, jumlah penduduk Indonesia besar sekali. Kedua, kondisi geografisnya beragam dengan lebih dari 17.000 pulau. Tak heran sangat susah mengatur Indonesia. Di lapangan, banyak sekali hal-hal yang tidak efisien.
Namun bagi anak-anak startup, kondisi seperti ini merupakan ladang problem statement. Semua inefisiensi tadi menjadi peluang untuk diselesaikan secara masif dengan teknologi informasi yang tidak mengenal batas-batas fisik.
Tak heran kemudian muncul inovasi-inovasi lokal yang unik untuk menyelesaikan problem-problem lokal yang juga rumit dan unik. Tentu hal ini berporos dari orang Indonesia yang mengerti masalah dan budaya sendiri.
Sampai hari ini, Indonesia terbukti menjadi rumah unicorn -perusahaan startup dengan valuasi lebih dari US$ 1 miliar- terbanyak di Asia Tenggara, di mana founding team dari unicorn mereka adalah orang lokal semua. Coba bandingkan dengan negara lain.
Tapi kita tidak bisa langsung berpuas diri. Di dunia digital, yang menang adalah produk yang berkualitas dan dapat menyelesaikan masalah dengan waktu tersingkat, termurah, dan terbaik, bukan karena label “lokal”nya. Karena itu, pergunakanlah pengetahuan dan budaya lokal sebagai keunggulan kompetitif.
Beberapa minggu yang lalu saya berada di salah satu diskusi internasional di Singapura membahas ekosistem digital untuk emerging dan frontier market. Ada pembicara yang bercerita tentang inovosi di Amerika Latin dan negara-negara Asia minor lainnya. Dia menyarankan agar founder-founder dari Indonesia pergi dan belajar dari mereka.
Saya sedikit jengkel, tapi dengan bangga memberikan saran, “mungkin sudah waktunya mereka yang belajar dari kita.” Sebab, para pendiri startup Indonesia sudah terbukti bisa menyelesaikan permasalahan yang lebih rumit dengan skala yang lebih besar. Dengan modal yang ada, sudah waktunya kita berdiri lebih depan.