Semangat Bambu Runcing di Era Digital
“William, kamu masih muda, dan muda itu cuma sekali. Janganlah bermimpi muluk-muluk. Carilah hal yang lebih realistis. Role model kamu, founder dari Sillicon Valley, mereka adalah orang-orang yang spesial. Kamu tidak. Jadi jangan sia-siakan masa muda kamu,” nasehat salah seorang calon pemodal yang saya terima dalam perjalanan mendirikan Tokopedia.
Dalam mendirikan dan membangun Tokopedia, saya belajar tentang semangat bambu runcing dalam menemukan keberanian, kegigihan, dan harapan. Dan inilah cerita perjalanan hidup saya.
Jatuh Cinta pada Internet
Saya ini pengusaha karena kepepet.
Saya besar dan lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Ketika tamat SMA, ayah dan paman ingin saya punya kehidupan lebih baik. Mereka percaya kehidupan lebih baik dimulai dari pendidikan yang lebih baik. Saya diberikan kesempatan untuk kuliah di Jakarta.
Naik kapal empat hari tiga malam dari Belawan ke Tanjung Priok, itu pertama kalinya saya keluar dari Sumatera Utara. Senang sekali bisa merantau dan mengenyam pendidikan tinggi di Jakarta. Sayangnya, ayah jatuh sakit pada tahun kedua. Untuk tetap berada di Ibu Kota, saya mencari pekerjaan sampingan. Minim pengalaman, saya beruntung diterima menjadi penjaga warung internet (warnet) 24-jam untuk shift malam di sekitar kampus.
Saat itu internet masih mahal, tapi saya bisa menggunakan internet secara gratis, 12 jam per hari, dari pukul sembilan malam hingga sembilan pagi. Bahkan dibayar untuk itu. Sejak itu saya jatuh cinta kepada internet, sebuah gerbang ke dunia lewat jemari tangan kita, kapan pun di mana pun.
Perjalanan Membangun Tokopedia
Lulus kuliah pada 2003, saya ingin bekerja di perusahaan internet. Namun perusahaan yang saya kagumi seperti Google dan Facebook belum memiliki kantor cabang di Indonesia. Saya kemudian bekerja di beberapa perusahaan pengembang software. Pada 2007 adalah tahun di mana saya melihat potensi membangun Tokopedia.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, menyimpan sejuta potensi. Namun karena infrastruktur yang belum merata, masyarakat yang tinggal di kota kecil dan pedalaman harus pindah ke kota besar untuk mendapatkan kesempatan dan peluang yang lebih besar. Demikian juga akses terhadap produk dan layanan, tidak jarang masyarakat di kota kecil justru harus membayar lebih dibandingkan masyarakat di kota besar.
Saya melihat teknologi, lewat internet, dapat menjadi solusi terhadap permasalahan tersebut. Terpikirlah ide membangun marketplace yang menghubungkan penjual dan pembeli dari seluruh nusantara, menyelesaikan masalah ketimpangan peluang dan kepercayaan.
Namun saya tidak memiliki modal. Ayah saya saat itu divonis sakit kanker, dan saya juga tidak bisa meninggalkan pekerjaan karena sebagai tulang punggung satu-satunya di keluarga. Terinspirasi dari anak-anak muda di Sillicon Valley, yang mampu membangun industri baru lewat internet dengan mencari dana dari pemodal-pemodal ventura, saya pun mencoba melakukan hal yang sama.
Saya datang ke orang kaya satu-satunya yang saya kenal, bos tempat saya bekerja. Menceritakan ide tentang membangun marketplace pertama di Indonesia. Beliau seorang visioner, yang kemudian memperkenalkan saya kepada teman-temannya, para calon pemodal. Selama dua tahun, saya mencoba untuk menyakinkan mereka, dan rata-rata menanyakan kepada saya lima hal.
*Ikuti kisah tersebut dalam artikel selanjutnya, Tiga Hal Penting dalam Membangun Marketplace.